A. Seputar Infeksi Virus Korona
Kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh coronavirus (SARS-CoV-2) atau dalam bahasa sehari-hari sering disebut sebagai virus korona. Hal inilah yang menyebabkan hampir semua agen kegiatan kita berantakan di awal tahun ini. Sampai saat artikel ini ditulis, lebih dari 250.000 kasus dilaporkan dengan tingkat kematian mencapai lebih dari 10.000 jiwa yang tersebar di lebih dari 180 negara. Sampai saat ini belum ada terapi atau vaksin yang telah disetujui untuk semua tipe coronavirus yang menginfeksi manusia. Salah satu tindakan pencegahan penyebaran virus ini adalah dengan menggalakkan program jaga jarak atau social distancing dan cuci tangan dengan seksama selama minimal 20 detik. Disinyalir, SARS-CoV-2 berasal dari spesies kelelawar yang berperan sebagai reservoir berbagai macam coronavirus, yang selanjutnya bermutasi dan dapat menular dari orang ke orang.
Mungkin ada yang bertanya “kenapa kok susah sekali ya nama virusnya?”. Penamaan virus dilakukan sedemikan rupa dengan melihat hubungan antara pengelompokannya dan penyakit yang disebabkannya, tidak menutup kemungkinan nama daerah ditemukannya pun bisa berfungsi sebagai nama dan penyakit virus tersebut (Gambar 1). Pada umumnya, virus merupakan unit yang sangat kecil (pada skala puluhan sampai ratusan nanometer), maka sangat sulit melihatnya dengan sebagian besar alat yang terdapat di laboratorium. Oleh karena itu, dibutuhkan cara lain untuk mengelompokkan virus ke dalam golongan tertentu. Cara yang ditempuh para ilmuwan adalah dengan mengelompokkan virus berdasarkan urutan materi genetiknya (DNA atau RNA) baik dengan eksperimen maupun dengan bantuan komputer.
Gambar 1. Sejarah penamaan coronavirus di tiga wabah terakhir dalam hubungannya dengan taksonomi virus dan penyakit yang disebabkannya. Dikutip dan diterjemahkan dari Gorbalenya et al (2020)
Dengan bantuan komputer, maka diketahui bahwa SARS-CoV-2 (penyebab COVID-19) merupakan kerabat dekat dari SARS-CoV (penyebab SARS). Oleh karena itu, para ilmuwan pun berasumsi bahwa mungkin saja siklus hidupnya mirip. Belakangan diketahui bahwa SARS-CoV-2 menginfeksi manusia dengan cara yang mirip sekali dengan kerabatnya (SARS-CoV), yaitu berinteraksi dengan reseptor bernama ACE2. ACE2 terdapat dalam jumlah banyak pada sel-sel alveolus tipe II di paru-paru, sel epitel di esofagus bagian atas, enterosit pada ileum (bagian terakhir usus halus) dan kolon (usus besar), sel epitel pada empedu, sel otot jantung, sel proximal tubule pada ginjal dan sel urotelial pada kandung kemih.
Laporan lain mengelompokkan tingkat kerentanan organ tubuh manusia berdasarkan jumlah ACE2 yang terdapat di organ tersebut. Paru-paru berada pada urutan teratas untuk organ dengan kemungkinan risiko tertinggi terhadap SARS-CoV-2. Organ dan bagian tubuh seperti rongga mulut, jantung, saluran pencernaan (usus halus dan usus besar) dan ginjal termasuk dalam kategori risiko tinggi terhadap infeksi SARS-CoV-2, temuan yang dapat menjelaskan adanya gejala non-pernafasan pada COVID-19.
Virus SARS-CoV-2, seperti hampir semua virus pada umumnya, merupakan sebuah unit yang terdiri atas materi genetik (dalam hal ini RNA) yang dilindungi oleh kumpulan protein tertentu. Virus membutuhkan sel hidup untuk mereplikasi dirinya. Virus pada umumnya memiliki “kunci” yang spesifik untuk “pintu” sel tertentu. Dalam hal COVID-19, “pintu” diwakili oleh reseptor pada sel inang yang bernama ACE2. SARS-CoV-2 memiliki “kunci” yang bernama protein S (spike), satu dari empat protein struktural utama virus ini. Protein S memiliki dua fungsi utama, yaitu berikatan dengan sel target dan peleburan antara membran virus dan sel inang (manusia), sehingga RNA dari SARS-CoV-2 dapat ditransfer ke dalam sel inang untuk segera memulai proses perbanyakan virus. Selain protein S, SARS-CoV-2 secara spesifik diduga memanfaatkan peran protease (furin dan TMPRSS2) dari sel target untuk masuk ke dalam sel. Sehingga, setidaknya protease pada sel target dan protein S pada SARS-CoV-2 merupakan salah satu target potensial pengembangan terapi untuk melawan infeksi virus tersebut.
RNA yang berhasil masuk ke dalam sel inang, selain akan direplikasi, berfungsi sebagai “cetakan” untuk memproduksi bahan-bahan yang diperlukan untuk membentuk virion (struktur lengkap virus infeksius). Bahan-bahan tersebut berupa protein struktural (bertanggung jawab untuk struktur fisik virus) dan nonstruktural (bertanggung jawab untuk melancarkan replikasi virus secara keseluruhan) serta RNA yang telah mengalami replikasi. Semua itu lalu dirangkai di dalam kompleks intermediet retikulum endoplasma–badan Golgi untuk membentuk virion. Virion-virion tersebut lalu dipindahkan ke luar sel dengan “kendaraan” yang dinamakan vesikel.
Usut punya usut, ternyata protein S yang tidak ikut dirangkai menjadi virion, ditransfer ke membran sel dan berfungsi sebagai perantara fusi antara sel target yang telah terinfeksi dengan sel lainnya yang belum terinfeksi. Hal ini mengakibatkan virus dapat menyebar lebih jauh tanpa terdeteksi oleh sistem imun tubuh. Menurut analisis kekerabatan secara filogenik, SARS-CoV-2 dan SARS-CoV berada pada satu kelompok yang sama, oleh karena itu sampai saat ini, diasumsikan siklus hidupnya pun diharapkan akan mirip. Kemiripan ini juga yang dapat dijadikan landasan analisis secara in silico (dengan bantuan komputer) untuk menyingkap kemungkinan terapi, meskipun pengetahuan mengenai protein sel target yang digunakan oleh SARS-CoV-2 masih sangat minim hingga artikel ini ditulis.
B. Herbal Indonesia untuk Pencegahan Infeksi Virus Korona
Indonesia merupakan negara yang kaya akan tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat (herbal). Negeri ini memiliki riwayat yang panjang dalam pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan berbagai macam penyakit secara turun temurun. Namun, COVID-19 merupakan jenis penyakit baru sehingga belum ada riwayat pengobatan di dunia ini termasuk Indonesia yang memanfaatkan tumbuhan. Kesamaan sekuen gen virus SARS-CoV-2 dengan SARS-CoV yang mencapai 79,5% dan kesamaan jalur masuk virus ke manusia yang melewati reseptor ACE2 memungkinkan beberapa kesamaan dalam target terapinya. Kandungan kimia (senyawa) yang ada didalam tumbuhan sudah banyak diteliti dan dipublikasikan. Bahkan beberapa senyawa sudah diteliti aktivitasnya pada target terapi SARS-CoV yang akan mempercepat evaluasi atas aktivitas senyawa-senyawa tersebut pada SARS-CoV-2. Beberapa tumbuhan Indonesia mengandung senyawa-senyawa yang berpotensi aktif sebagai agen untuk menghambat infeksi maupun replikasi SARS-CoV-2 berdasarkan aktivitasnya pada target-target terapi yang relevan. Senyawa-senyawa berpotensi aktif tersebut merupakan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan Indonesia setidaknya memiliki aktivitas pada target terapi di level in vitro. Berikut beberapa tumbuhan Indonesia dan senyawanya yang berpotensi untuk dikembangkan dalam penanggulangan COVID-19.
1. Tumbuhan yang berpotensi mengambat interaksi reseptor ACE2 dengan protein S
Saat ini, ACE2 merupakan reseptor yang berhasil diidentifikasi sebagai pintu masuknya virus SARS-CoV-2 dalam menginfeksi manusia. Reseptor ACE2 ini banyak diekspresikan di paru-paru (terutama sel endothelial paru). Virus memulai proses infeksinya dengan melibatkan interaksi antara protein S pada SARS-CoV-2 dengan ACE2 pada sel inang. Risiko infeksi ini bisa dicegah atau dikurangi dengan senyawa dari tumbuhan yang mampu mengganggu interaksi tersebut. Beberapa tumbuhan Indonesia mengandung senyawa yang berpotensi untuk mencegah atau mengurangi infeksi virus ini. Contohnya adalah senyawa emodin dan luteolin yang mampu mencegah interaksi antara reseptor ACE2 dengan protein S pada SARS-CoV. Tumbuhan Indonesia yang banyak mengandung emodin antara lain lidah buaya (Aloe vera; daun), kelembak (Rheum officinnale; akar), dan pada biji dari tumbuhan genus Cassia, seperti Cassia alata atau Senna alata (ketepeng kebo), Cassia obtusifolia atau Senna obtusifolia (kacang jawa), dan Senna alexandrina (jati cina). Sedangkan tanaman yang banyak mengandung luteolin antara lain seledri (Apium graveolens, daun dan biji), tapak liman (Elephantopus scaber; daun dan bunga), bawang (Alium cepa; daun), brokoli (Brassica oleracea), cabe hijau (Capsicum annuum; buah), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi; daun dan buah), jeruk purut (Citrus hystrix; daun), dan wortel (Daucus carota; umbi).
1. Tumbuhan yang berpotensi menghambat aktivitas protease serin
Seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa infeksi SARS-CoV-2 pada manusia selain memerlukan reseptor ACE2 sebagai pintu masuk, juga melibatkan protein S pada permukaan virus untuk berikatan dengan reseptor ACE2. Pada tahap selanjutnya, diperlukan aktivitas enzim protease serin oleh TMPRSS2 (sebuah glikprotein transmembran) yang memungkinkan virus untuk melebur dan masuk kedalam sel target untuk memulai infeksinya. Penghambatan aktivitas protease serin ini merupakan target dalam pencegahan infeksi virus. Penelitian terbaru dari jurnal bereputasi Cell mempublikasikan bahwa selain pengambatan interaksi dengan reseptor ACE2, penghambatan terhadap enzim protease (terutama protease serin) juga merupakan target yang potensial untuk mengendalikan infeksi virus korona terbaru ini. Senyawa yang menghambat protease pada residu serin (serineprotease inhibitor, selanjutnya disebut sebagai SPI) diperkirakan bisa menjadi kandidat obat yang baik untuk menghentikan siklus hidup virus. SARS-CoV-2 menggunakan protease untuk memfasilitasi proses infeksi kepada sel inang. Protease merupakan target terapi yang sangat penting karena terlibat dalam banyak proses yang penting dalam perkembangbiakan virus korona. Tumbuhan merupakan sumber SPI yang melimpah dan sudah banyak diteliti. Senyawa SPI yang berasal dari tumbuhan umumnya berupa protein atau molekul mengandung protein (molekul besar). Tumbuhan keluarga polong-polongan (Fabaceae, Poaceae, dan Solanaceae) merupakan sumber penghasil SPI yang utama dari tumbuhan. Fraksi protein yang berasal dari biji polong-polongan kaya akan senyawa SPI. Contoh tumbuhan suku polong-polongan yang bijinya mengandung SPI adalah kacang tanah (Arachis hypogaea), kedelai (Glycine max), buncis (Phaseolus vulgaris), kapri (Pisum sativum), dan orok-orok (Crotalaria juncea). Selain polong-polongan, banyak tanaman Indonesia yang mengandung senyawa SPI, diantaranya adalah kelor (Moringa oleifera; daun dan biji); pare (Momordica charantia; biji), timun (Cucumis sativus; buah),labu kuning(Cucurbita moschata; buah),nanas(Ananas comosus; buah),ubi(Ipomoea batatas; umbi),dan kentang (Solanum tuberosum, umbi).
Selain kedua target diatas, tentunya ada target-target lain yang dimulai dari proses masuknya virus hingga proses replikasi virus dalam tubuh inang. Contohnya adalah enzim helikase pada SARS-CoV-2. SARS-CoV-2 dan virus corona lain memiliki enzim helikase RNA yang penting untuk replikasi dan proliferasi virus. Hasil penelitian menyebutkan bahwa senyawa mirisetin dan skutellarein mampu menghambat aktivitas enzim helikase. Senyawa mirisetin terdapat dalam tumbuhan cengkeh (Syzygium aromaticum; bunga)dan tumbuhan duwet (Syzygium cumini; daun), jambu semarang (Syzygium samarangense; daun), dan rosela (Hibiscus sabdariffa; kelopak bunga). Sedangkan skutellarein terdapat dalam daun tumbuhan jaka tuwa (Scoparia dulcis), dan senggugu (Clerodendron serratum). Semua senyawa dan tanaman yang disebutkan dalam artikel ini hingga saat ini belum ada yang diuji efektivitasnya pada model percobaan yang relevan dengan SARS-CoV-2 karena virus ini baru diidentifikasi diawal tahun 2020. Namun tanaman-tanaman tersebut memiliki potensi sebagai pencegah infeksi atau pengambat perkembangan SARS-CoV-2 berdasarkan target-target terapi dalam COVID-19 yang sudah teridentifikasi dan berdasarkan aktivitasnya terhadap SARS-CoV. Tulisan ini mengulas beberapa tanaman Indonesia yang potensial untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut sebagai agen anti-SARS-CoV-2.
Saat ini sedang dikembangkan juga teknik in silico (model komputasi) untuk memprediksi senyawa dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi dan replikasi SARS-CoV-2 dengan memprediksi interaksinya dengan target-target dalam penyakit ini. Contohnya adalah senyawa metoksi flavonoid seperti hesperetin, tangeretin, naringenin, dan nobiletin pada jeruk-jerukan (Citrus sp.; buah dan kulit), dan senyawa baikalin, skutellarin, glisirizin, rhoifolin, herbasetin, pektolinarin dan galangin pada lengkuas (Alpinia galanga; rimpang). Namun, prediksi yang berbasis pada model komputasi ini masih memerlukan pembuktian pada uji laboratorium. Ada banyak strategi yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti untuk mencari senyawa aktif antivirus termasuk yang berasal dari senyawa bahan alam bersumber dari tumbuhan. Tingginya biodiversitas tumbuhan Indonesia menyediakan keanekaragaman struktur senyawa bahan alam yang sekaligus menjadi modal yang besar dalam upaya penemuan obat, termasuk obat untuk penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Hal ini sekaligus merupakan tantangan bagi peneliti Indonesia dalam mendukung program kemandirian obat.
Oleh : Nanang Fakhrudin dan Puguh Indrasetiawan
Center for Natural Antiinfective Research (CNAIR), dan Departemen Biologi Farmasi,
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Daftar Pustaka
- World Health Organization (2020). Novel Coronavirus 2019. Retrieved from https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019
- Walls, A.C., Park, Y.J., Tortorici, M.A., Wall, A., McGuire, A.T., & Veesler, D., Structure, Function, and Antigenicity of the SARS-CoV-2 Spike Glycoprotein, Cell. doi: 10.1016/j.cell.2020.02.058
- World Health Organization (2020). Q & A on coronavirus (COVID-19). Retrieved from https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a-coronaviruses
- Zhou, P., Yang, X.L., Wang, X.G., Hu, B., Zhang, L., Zhang, W.,. . . Shi, Z. L. (2020) A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature, 579, 270–273. doi: 10.1038/s41586-020-2012-7
- Cui, J., Li, F., &Shi, Z.-L. (2019) Origin and evolution of pathogenic coronaviruses. Nat Rev Microbiol, 17, 181–192. doi: 10.1038/s41579-018-0118-9
- Gorbalenya, A.E., Baker, S.C., Baric, R.S. de Groot, R. J., Drosten, C., Gulyaeva, A. A., . . . Ziebuhr, J. (2020). The species Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus: classifying 2019-nCoV and naming it SARS-CoV-2. Nat Microbiol. doi: 10.1038/s41564-020-0695-z
- Jia, H. P., Look, D. C., Shi, L., Hickey, M., Pewe, L., Netland, J., . . . McCray PB Jr. (2005). ACE2 receptor expression and severe acute respiratory syndrome coronavirus infection depend on differentiation of human airway epithelia. J Virol, 79(23), 14614-21. doi: 10.1128/JVI.79.23.14614-14621.2005
- Hoffmann, M., Kleine-Weber, H., Schroeder, S., Kruger, N., Herrler, T., Erichsen, S., . . . Pohlmann, S. (2020). SARS-CoV-2 Cell Entry Depends on ACE2 and TMPRSS2 and Is Blocked by a Clinically Proven Protease Inhibitor. Cell. doi:10.1016/j.cell.2020.02.052
- Letko, M., Marzi, A.,& Munster, V. (2020). Functional assessment of cell entry and receptor usage for SARS-CoV-2 and other lineage B betacoronaviruses. Nat Microbiol. doi: 10.1038/s41564-020-0688-y
- Xu, H., Zhong, L., Deng, J., Peng, J., Dan, H., Zeng, X., . . . Chen, Q. (2020). High expression of ACE2 receptor of 2019-nCoV on the epithelial cells of oral mucosa. Int J Oral Sci, 12, 8. doi: 10.1038/s41368-020-0074-x
- Zou, X., Chen, K., Zou, J., Han, P., Hao, J., &Han, Z. (2020). Single-cell RNA-seq data analysis on the receptor ACE2 expression reveals the potential risk of different human organs vulnerable to 2019-nCoV infection. Front Med. doi: 10.1007/s11684-020-0754-0
- Tai, W., He, L., Zhang, X., Pu, J., Voronin, D., Jiang, S., . . . Du, L. (2020). Characterization of the receptor-binding domain (RBD) of 2019 novel coronavirus: implication for development of RBD protein as a viral attachment inhibitor and vaccine. Cell Mol Immunol.doi : 10.1038/s41368-020-0074-x
- Coutard, B., Valle, C., de Lamballerie, X., Canard, B., Seidah, N.G., &Decroly, E. (2020). The spike glycoprotein of the new coronavirus 2019-nCoV contains a furin-like cleavage site absent in CoV of the same clade. Antiviral Research, 176, 104742. doi: 10.1016/j.antiviral.2020.104742.
- Fehr A.R., &Perlman S. (2015).Methods in Molecular Biology. New York: Humana Press.
- Zhou, Y., Hou, Y., Shen, J. Huang, Y., Martin, W., & Cheng, F. (2020). Network-based drug repurposing for novel coronavirus 2019-nCoV/SARS-CoV-2. Cell Discov, 6, 14. Doi: 10.1038/s41421-020-0153-3
- Ali, B. H., Al Wabel, N., & Blunden, G. (2005). Phytochemical, pharmacological and toxicological aspects of Hibiscus sabdariffa L.: a review. Phytother Res, 19(5), 369-375. doi:10.1002/ptr.1628
- Ayyanar, M., & Subash-Babu, P. (2012). Syzygium cumini (L.) Skeels: a review of its phytochemical constituents and traditional uses. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 2(3), 240-246. doi:10.1016/S2221-1691(12)60050-1
- Bijina, B., Chellappan, S., Krishna, J. G., Basheer, S. M., Elyas, K. K., Bahkali, A. H., & Chandrasekaran, M. (2011). Protease inhibitor from Moringa oleifera with potential for use as therapeutic drug and as seafood preservative. Saudi J Biol Sci, 18(3), 273-281. doi:10.1016/j.sjbs.2011.04.002
- Cai, L., & Wu, C. D. (1996). Compounds from Syzygium aromaticum possessing growth inhibitory activity against oral pathogens. J Nat Prod, 59(10), 987-990. doi:10.1021/np960451q
- Chen, H., & Du, Q. (2020). Potential Natural Compounds for Preventing 2019-nCoV Infection. Preprints, 2020010358.
- Clemente, M., Corigliano, M. G., Pariani, S. A., Sánchez-López, E. F., Sander, V. A., & Ramos-Duarte, V. A. (2019). Plant Serine Protease Inhibitors: Biotechnology Application in Agriculture and Molecular Farming. International Journal of Molecular Sciences, 20(6), 1345. doi:10.3390/ijms20061345
- Ho, T.-Y., Wu, S.-L., Chen, J.-C., Li, C.-C., & Hsiang, C.-Y. (2007). Emodin blocks the SARS coronavirus spike protein and angiotensin-converting enzyme 2 interaction. Antiviral Res, 74(2), 92-101. doi:https://doi.org/10.1016/j.antiviral.2006.04.014
- Kuo, Y. C., Yang, L. M., & Lin, L. C. (2004). Isolation and immunomodulatory effect of flavonoids from Syzygium samarangense. Planta Med, 70(12), 1237-1239. doi:10.1055/s-2004-835859
- Miean, K. H., & Mohamed, S. (2001). Flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, and apigenin) content of edible tropical plants. J Agric Food Chem, 49(6), 3106-3112. doi:10.1021/jf000892m
- Shenoy, V., Kwon, K. C., Rathinasabapathy, A., Lin, S., Jin, G., Song, C., . . . Raizada, M. K. (2014). Oral delivery of Angiotensin-converting enzyme 2 and Angiotensin-(1-7) bioencapsulated in plant cells attenuates pulmonary hypertension. Hypertension, 64(6), 1248-1259. doi:10.1161/hypertensionaha.114.03871
- Srikanth, S., & Chen, Z. (2016). Plant Protease Inhibitors in Therapeutics-Focus on Cancer Therapy. Front Pharmacol, 7, 470-470. doi:10.3389/fphar.2016.00470
- Utomo, R. Y., Ikawati, M., & Meiyanto, E. (2020). Revealing the Potency of Citrus and Galangal Constituents to Halt SARS-CoV-2 Infection. Preprints.
- Wang, J.-H., Luan, F., He, X.-D., Wang, Y., & Li, M.-X. (2017). Traditional uses and pharmacological properties of Clerodendrum phytochemicals. Journal of traditional and complementary medicine, 8(1), 24-38. doi:10.1016/j.jtcme.2017.04.001
- Wu, W.-H., Chen, T.-Y., Lu, R.-W., Chen, S.-T., & Chang, C.-C. (2012). Benzoxazinoids from Scoparia dulcis (sweet broomweed) with antiproliferative activity against the DU-145 human prostate cancer cell line. Phytochemistry, 83, 110-115. doi:https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2012.07.022
- Yi, L., Li, Z., Yuan, K., Qu, X., Chen, J., Wang, G., . . . Xu, X. (2004). Small molecules blocking the entry of severe acute respiratory syndrome coronavirus into host cells. J Virol, 78(20), 11334-11339. doi:10.1128/jvi.78.20.11334-11339.2004
- Yu, M. S., Lee, J., Lee, J. M., Kim, Y., Chin, Y. W., Jee, J. G., . . . Jeong, Y. J. (2012). Identification of myricetin and scutellarein as novel chemical inhibitors of the SARS coronavirus helicase, nsP13. Bioorg Med Chem Lett, 22(12), 4049-4054. doi:10.1016/j.bmcl.2012.04.081
- Zumla, A., Chan, J. F., Azhar, E. I., Hui, D. S., & Yuen, K. Y. (2016). Coronaviruses – drug discovery and therapeutic options. Nat Rev Drug Discov, 15(5), 327-347. doi:10.1038/nrd.2015.37