Obat Tradisional dengan Pendekatan Masa Kini
Puguh Indrasetiawan, S.Farm., M.Sc., Ph.D., Apt.
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Apakah yang ada di pikiran kita mengenai obat tradisional (OT)?
Ketinggalan zaman? Kuno? Lamban?
Pada kenyataannya, OT sudah digunakan oleh manusia selama ratusan tahun dengan masing-masing kearifan lokalnya untuk mengobati berbagai macam penyakit. Industri farmasetika penghasil obat-obatan modern (OM) baru menapaki kehidupannya sejak seratus tahun terakhir dengan memanfaatkan komponen aktif dan turunannya dengan mode aksi yang presisi. Oleh karena itulah OM lebih sering diresepkan para dokter di masa kini untuk menyembuhkan / meredakan penyakit.
Jika ditilik lewat sejarahnya, tanaman menyediakan info yang sangat berharga yang didapatkan melalui proses trial and error langsung ke manusia selama ribuan tahun. Hal inilah yang sebagian sudah diungkap dengan pendekatan modern masa kini. Indonesia sebagai salah satu negara dengan biodiversitas terbesar di dunia tentu saja menawarkan kemungkinan banyaknya tanaman obat untuk diteliti lebih lanjut berdasarkan efek obat tradisionalnya.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan etnik yang tersebar di lebih dari 10.000 pulau. Tidak heran bila sebagian dari mereka mengembangkan sistem pengobatan yang unik. Oleh karena itu, Indonesia pun sebenarnya “kecipratan” dan akhirnya memiliki banyak kekayaan pengetahuan mengenai sumber bahan alam dan OT. Penelitian besar yang dilakukan pada tahun 2013 menyebutkan bahwa 30,4% dari subyek penelitian masih memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional.
Beberapa penelitian lainnya yang sudah dilakukan mengungkapkan bahwa memang penggunaan OT dan pengobatan tradisional / komplementer / alternatif (traditional, complementary and alternative medicine, TCAM) tetap dilakukan masyarakat Indonesia sampai saat ini, terlepas dari beberapa faktor seperti umur, agama, lokasi tinggal dan sebagainya. Hal ini menyiratkan bahwa OT dan TCAM tersedia dengan mudah di Indonesia dan diterima secara luas sejak dahulu kala, meskipun OM mempunyai pangsa pasar yang besar terutama oleh kalangan profesi medis.
Tingginya minat masyarakat terhadap OT membuat pemerintah Republik Indonesia melakukan modernisasi OT dengan tetap menjaga identitas aslinya. Hal-hal seperti meningkatkan mutu bahan baku OT dan perbaikan proses produksi serta kontrol kualitas dilakukan agar OT mampu terus sejajar dengan OM. Langkah-langkah tersebut membutuhkan dukungan data dari penelitian ilmiah yang cukup termasuk sampai ke uji klinik, untuk mendokumentasikan efek dari OT. Kegiatan inilah yang diperlukan agar OT bisa diterima kalangan yang lebih luas terutama profesi medis dan yang lebih utama lagi, agar OT juga dapat dimasukkan ke dalam berbagai macam sistem kesehatan.
Produk OT yang beredar di masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Jamu merupakan istilah dari Indonesia untuk OT dengan menggunakan bahan dari herbal dan telah digunakan sejak dahulu kala untuk menyembuhkan berbagai gejala penyakit secara empiris (tidak melalui serangkaian uji preklinik dan atau klinik). OHT (gambar 1) merupakan versi upgrade dari jamu, yang telah mengalami proses standardisasi bahan baku alam dan uji preklinik, sehingga tingkat keamanannya lebih baik dan dikemas dalam sediaan yang tahan lebih lama daripada jamu. Tingkatan tertinggi dari OT adalah fitofarmaka (gambar 2), sebuah sediaan yang telah mengalami proses standardisasi bahan baku alam dan uji klinik (teruji khasiatnya pada manusia). Karena telah teruji khasiatnya pada manusia, fitofarmaka sejajar dengan obat-obatan sintetik pada umumnya dan dapat diresepkan oleh para dokter. Sampai bulan Juli 2019, sudah 23 jenis fitofarmaka yang terdaftar di Badan POM dengan jumlah OHT dan jamu terdaftar yang jauh lebih banyak dari itu (karena syaratnya yang jauh lebih mudah daripada fitofarmaka). Perkembangan positif ini jelas didukung langsung oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan terus mengawasi semua prosesnya dengan ketat.
Gambar 1. Contoh produk OHT.
Gambar 2. Contoh produk fitofarmaka.
Dua dari tiga jenis OT telah mengalami modernisasi dan standardisasi sehingga menjadi lebih baik dan lebih aman. Jadi, OT tidak selamanya kuno dan ketinggalan zaman. Justru dengan “kuno dan ketinggalan zaman” inilah Indonesia sangat kaya, dan dengan kekayaan inilah saatnya para peneliti mengungkap apa yang terkandung di dalamnya dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan dan juga meningkatkan level OT agar setara dengan OM dan diterima lebih luas di masyarakat.
Referensi
Afdhal AF, Welsch RL. 1988. The Rise of the Modern Jamu Industry in Indonesia: A Preliminary Overview. The Context of Medicines in Developing Countries:149–172
Badan POM Republik Indonesia. 2019. Dorong Percepatan Pengembangan Industri Fitofarmaka, Badan POM Sampaikan Strategi di Tingkat Global.https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/484/Dorong-Percepatan-Pengembangan-Industri-Fitofarmaka–Badan-POM-Sampaikan-Strategi-di-Tingkat-Global.html diakses pada 19 Februari 2020.
Elfahmi, Woerdenbag HJ, Kayser O. 2014. Jamu: Indonesian traditional herbal medicine towards rational phytopharmacological use. J Herb Med 4(2):51-73.
Li FS, Weng JK. 2017. Demystifying traditional herbal medicine with modern approach. Nat Plants3:17109.
Liem A, Rahmawati KD. 2017.The meaning of complementary, alternative and traditional medicine among the Indonesian psychology community: a pilot study. J Integr Med 15(4):288-294.
Nurhayati L, Widowati L. 2017. The use of traditional health care among Indonesian Family. Health Sci J Indonesia 8(1):30-35.
Pengpid S, Peltzer K. 2018. Utilization of traditional and complementary medicine in Indonesia: Results of a national survey in 2014-15. Complement Ther Clin Pract33:156-163.
World Health Organization. 2001. Trips, CBD and Traditional Medicines: Concepts and Questions. Report of an ASEAN Workshop on the TRIPS Agreement and Traditional Medicine, Jakarta, February 2001. https://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2996e /6.2.html diakses pada tanggal 10 Februari 2020.