Oleh : Triana Hertiani
Betulkah obat tradisional aman karena alami?
Di masa pandemi ini, obat tradisional menjadi salah satu komoditas yang meningkat penggunaannya sebagai salah satu upaya masyarakat meningkatkan pertahanan tubuh terhadap penyakit. Obat tradisional banyak diyakini tidak hanya oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh banyak akademisi sebagai produk yang aman karena berasal dari bahan alami dan sudah digunakan secara turun temurun sejak jaman nenek-moyang. Seberapa tepatkah argumen tersebut? Mari kita coba ulas bersama.
Apakah obat tradisional itu alami?
Ditinjau dari sumber bahan baku, obat tradisional yang beredar di Indonesia hanya diperbolehkan berasal dari bahan alami, yaitu bisa berasal dari tumbuhan, hewan dan mineral(1). Faktanya beberapa produk herbal dari luar negeri bisa mengandung vitamin dan bahkan obat sintetis. Produk herbal yang mengandung bahan aktif sintesis tidak boleh beredar di Indonesia, tetapi produk yang mengandung campuran vitamin dan atau mineral dan sekaligus bahan tumbuhan, diperbolehkan beredar dalam kategorisasi Suplemen Kesehatan (2).
Ditinjau dari bahan pendukung dan metode produksinya, klaim alami ini tentunya perlu ditelaah lagi. Obat tradisional berasal dari bahan alam, yang dapat berupa rajangan, serbuk maupun telah diolah dengan cara disari (ekstrak atau sediaan galenik) (1). Penyarian ini bertujuan memisahkan bahan yang dikehendaki dari yang tidak dikehendaki. Mengapa hal tersebut perlu dilakukan? Karena bahan alam kaya dengan kandungan kimia. Kandungan kimia tersebut tercampur antara kandungan yang bermanfaat untuk tujuan pengobatan tertentu, dengan kandungan lain yang tidak diinginkan. Mengapa tidak diinginkan? Karena kandungan bahan lain itu tidak berkontribusi terhadap aktivitas, atau bahkan justru berefek berlawanan, dan dalam kasus tertentu, berpotensi membahayakan.
Selain tujuan tersebut, upaya modernisasi produk obat tradisional antara lain adalah membuat penggunaannya menjadi lebih praktis. Berbagai produk sediaan obat tradisional saat ini dapat ditemui tidak hanya dalam bentuk rebusan, seduhan (teh), dan pil, tetapi telah lazim juga ditemui dalam bentuk serbuk instan, kapsul, tablet, kaplet, sirup, minuman, bahkan tablet effervescent. Konsumen dapat mengkonsumsi satu atau dua tablet untuk sekali penggunaan, yang kandungan bahan aktifnya sebanding dengan mengkonsumsi satu dua gelas rebusan herbal, misalnya. Perubahan bentuk pemberian ini menyebabkan perlunya bahan-bahan tambahan sebagai pendukung yang tidak semuanya alamiah, walaupun aman karena penggunaannya diatur dan diawasi oleh pemerintah(1).
Apakah bahan alami pasti aman?
Beberapa bahan alam, termasuk tumbuhan juga ada yang secara alamiahnya beracun dan ada juga yang walaupun bermanfaat sebagai tanaman obat tetapi penggunaannya harus secara hati-hati. Pemerintah, dalam hal ini BPOM telah mengeluarkan beberapa peraturan yang mengatur penggunaan bahan-bahan tumbuhan yang tidak boleh digunakan dalam produk obat tradisional dengan berbagai pertimbangan (3-9). Pemanfaatan langsung oleh masyarakat juga perlu memperhatikan kebenaran dan kualitas bahan baku untuk menjamin keamanannya dan efektifitasnya. Telah banyak dilaporkan penggunaan bahan yang tidak tepat karena kesalahan identifikasi maupun kualitas bahan yang kurang baik. Kesalahan identifikasi umumnya disebabkan karena kemiripan bahan dan kerancuan penamaan di masyarakat walau bisa juga disebabkan oleh faktor kesengajaan karena pertimbangan keuntungan, khususnya untuk bahan yang langka. Kualitas bahan yang kurang/tidak baik dapat disebabkan oleh kontaminasi mikroba, jamur, aflatoksin, pestisida dll.
Apakah betul obat tradisional adalah aman karena sudah terbukti penggunaannya secara turun temurun?
Obat tradisional yang digunakan sesuai dengan penggunaan secara turun temurun baik dari sisi komposisi, cara penggunaan, dosis, indikasi serta sesuai dengan kondisi pasien, tentunya relative aman. Hanya saja, pernyataan ini menjadi tidak sepenuhnya benar apabila terdapat perbedaan penggunaan dari apa yang telah digunakan secara turun temurun secara tradisional. Saat ini cukup banyak penggunaan bahan obat tradisional yang tidak sesuai dengan penggunaan secara tradisional di masyarakat. Ada banyak pengaruh yang disebabkan antara lain pergeseran budaya dan arus pertukaran informasi yang cepat. Misalnya saja penggunaan buah Makutadewa, tumbuhan Sarang Semut, yang sempat booming sekian tahun lalu, atau Bajakah, baru-baru ini. Semua bahan tersebut merupakan bahan alami dan tumbuhan asli Indonesia, dipergunakan dalam pengobatan tradisional untuk masyarakat setempat. Masyarakat kemudian berinisiatif menggunakannya untuk tujuan pengobatan yang lebih luas dan dengan mengkombinasikan dengan bahan lain yang tidak selalu berasal dari formula nenek moyang. Hal tersebut antara lain juga disebabkan beredarnya hasil-hasil penelitian terkait bahan tersebut. Hasil penelitian seringkali belum cukup kuat mendukung pemanfaatannya untuk tujuan pengobatan tertentu, karena misalnya masih dalam tataran pengujian secara in vitro.
Penggunaan obat tradisional sendiri di masyakarat secara turun temurun seringkali memiliki tujuan pengobatan yang bersifat holistik atau menyeluruh dan memiliki kategorisasi penyakit yang berbeda dengan pengobatan konvensional. Hal ini menyebabkan dalam ramuan Jamu misalnya, komponen bahan herbal penyusunnya saling mendukung untuk efek farmakologis. Hal ini seringkali dimaknai dengan luasnya efek terapi yang menjadi klaim formula herbal tertentu untuk pengobatan secara empiris, dan tentunya tidak sesuai dengan klaim yang diperbolehkan pada produk obat tradisional.
Apakah industrialisasi obat tradisional berpengaruh terhadap efektivitas dan keamanan produk?
Modernisasi bentuk sediaan, menyebabkan penggunaannya tidak lagi sama dengan penggunaan secara tradisional di masyarakat. Penggunaan yang biasanya berupa rebusan atau seduhan (ekstrak air) berganti dengan penggunaan dalam bentuk ekstrak yang dibuat tablet, misalnya. Hal ini tentunya berakibat perbedaan pada efektifitas dan keamanan dari produk tersebut dibandingkan penggunaannya secara tradisional.
Selain beberapa aspek yang disampaikan di atas, beberapa penyelewengan, yang sayangnya cukup banyak terjadi, berupa produk obat tradisional ilegal, atau palsu disinyalir dan mengandung bahan obat sintetis, bahan berbahaya, atau bahan herbal dengan kualitas bahan dan produksi yg buruk masih seringkali ditemui dan menuntut kehati-hatian sebagai konsumen dalam pemanfaatannya, khususnya untuk produk yang klaimnya sangat luas untuk berbagai penyakit serta memiliki efek yang instan(10).
Jadi apakah obat tradisional aman karena alami? Keduanya tentunya bukan hubungan sebab akibat. Ketika bahan yang digunakan berkualitas, dengan penggunaan yang sesuai dengan peruntukannya, dan telah melalui serangkaian tahapan yang harus dilalui oleh produsen untuk memperoleh ijin edar resmi dari BPOM, keamanan adalah suatu hal yang dapat diharapkan. Dampak industrialisasi menyebabkan potensi peran obat tradisional menjadi lebih besar. Di sisi lain modernisasi serta merta berbanding terbalik dgn sisi “tradisionalnya” yang sekaligus menjadikan aspek bahan alami dan warisan nenek moyang tidak memadai untuk menjadi jaminan kualitas dan keamanannya.
Daftar Pustaka
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2019. Peraturan Kepala BPOM No. 32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional. Jakarta.
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2019. Peraturan Kepala BPOM No. 17 Tahun 2019 tentang Persyaratan Mutu Suplemen Kesehatan. Jakarta.
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2017. Peraturan Kepala BPOM No. 9 Tahun 2017 tentang Larangan Memproduksi dan Mengedarkan Obat Tradisional Yang Mengandung Cassia Senna L. dan Rheum Officinale Dengan Klaim Untuk Menurunkan Lemak Tubuh atau Menurunkan Berat Badan
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Kepala BPOM No. 10 Tahun 2014 tentang Larangan Memproduksi dan Mengedarkan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan Yang Mengandung Tumbuhan Coptis Sp, Berberis Sp, Mahonia Sp, Chelidonium Majus, Phellodendron Sp, Arcangelica Flava, Tinosporae Radix dan Cataranthus Roseus.
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.05.12.3428 Tahun 2014 tentang Larangan Memproduksi dan Mengedarkan Obat Tradisional dan Suplemen Makanan Yang Mengandung Tumbuhan PausinystaliaYohimbe
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Kepala BPOM No. HK.00.05.41.2803 Tahun 2005 tentang Larangan Obat Tradisional yang Mengandung Cinchonae Cortex atau Artemisiae Folium
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.03961 Tahun 2001 tentang Larangan Produksi dan Distribusi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan yang Mengandung Tanaman Ephedra
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2001. Peraturan Kepala BPOM No. HK.00.05.41.03960 Tahun 2001 tentang Larangan Produksi dan Distribusi Obat Tradisional dan Supplemen Makanan yang Mengandung Tanaman Aristolochia sp.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 1981. KEPMENKES Nomor 1147/D/SK/IV/81 Tahun 1981 tentang Larangan Produksi dan Distribusi Obat Tradisional yang Digunakan Sebagai Pelancar Haid dan Sejenisnya yang Berisi Simplisia
- https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT–BKO–YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL–JAMU-.htmldiakses pada 26 Desember 2020, 18:35