Universitas Gadjah Mada Kanal Pengetahuan Farmasi
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Berita Farmasi
  • Tabir Surya Alami: Perlindungan atau Risiko Tersembunyi?

Tabir Surya Alami: Perlindungan atau Risiko Tersembunyi?

  • Berita Farmasi, Obat Alami untuk Indonesia, Pusat Informasi Obat dan Farmakologi
  • 14 May 2025, 08.13
  • Oleh: Admin
  • 0

Oleh
Diah Pratimasari
Mahasiswa Doktor Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi UGM
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nasional

    Paparan sinar matahari yang tinggi berpotensi untuk merusak kulit. Kulit yang terpapar radiasi sinar UV dapat mengalami beberapa masalah seperti kulit kusam, dehidrasi, kemerahan, penuaan dini seperti munculnya flek-flek hitam dan kerutan, bahkan risiko terjadinya kanker kulit. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah efek buruk dari radiasi sinar UV adalah dengan menggunakan tabir surya. Berdasarkan cara kerja utamanya, tabir surya dapat dibagi menjadi tabir surya kimia (chemical sunscreen) dan tabir surya fisik (physical/mineral sunscreen). Tabir surya kimia bekerja dengan menyerap sinar UV agar tidak merusak jaringan kulit. Contohnya adalah  Mexoryl SX, Oxybenzone dan Octinoxate. Sedangkan tabir surya fisik bekerja dengan cara  memantulkan radiasi sinar UV sehingga tidak masuk ke dalam kulit, contohnya adalah berbagai mineral seperti Titanium Dioxide (TiO2) dan Zinc Oxide (ZnO) [1]. Selain dua cara kerja tersebut, terdapat tabir surya dari bahan alam yang melindungi kulit melalui aktivitas antioksidan, contohnya turunan fenolik dan flavonoid seperti caffeic acid, aloin,  dan benzoic acid.

     Selain manfaatnya, tabir surya kimia dilaporkan berpotensi menimbulkan efek samping. Misalnya oxybenzone (benzophenone-3) dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi dan terabsorbsi ke dalam darah, octocrylene yang berpotensi menjadi fotoalergen, dan avobenzone rentan terdegradari oleh cahaya. Sementara itu, meskipun tabir surya fisik relatif lebih aman dari efek samping, namun perlu dipertimbangkan dampak di lingkungan dan kenyamanan bagi penggunanya [2]. Efek samping dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kedua jenis tabir surya tersebut melatar belakangi banyaknya penelitian dan pengembangan tabir surya yang menggunakan dari bahan alam. Senyawa lignin, fenolik dan flavonoid yang terkandung dalam tanaman telah terbukti memiliki potensi sebagai tabir surya. Contohnya ekstrak C. sessiliflora, C. guazumifolia, Malaxis acuminata, dan Schinus terebinthifolius [3]. Beberapa tanaman yang ada di Indonesia  pun telah diteliti mengandung senyawa fenolik dan flavonoid yang berpotensi sebagai tabir surya, contohnya adalah daun stroberi (Fragaria x anannasa A.N. Duch), pegagan (Centella asiatica L), buah sirsak (Annona muricata L.), buah pare (Momordica charantia L.), daun kelor (Moringa oleifera), ganggang hijau (Ulva lactuca L.), daun keledang (Artocarpus lanceifolius Roxb.) dan biji buah alpukat (Persea americana Mill.) [4].

   Potensi bahan alam tersebut kemudian menjadi dasar dikembangkannya sediaan tabir surya yang menggunakan zat aktif dari serbuk simplisia maupun ekstrak tanaman tanpa menambahkan bahan aktif tabir surya kimia maupun fisik sama sekali. Bahkan beberapa di antaranya ada yang melabeli produk kosmetiknya 100% natural dengan tidak menambahkan bahan kimia tambahan seperti pengawet ataupun stabilisator. Namun muncul pertanyaan besar : apakah tabir surya bahan alam benar-benar efektif melindungi kulit dan seberapa aman penggunaannya?

      Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu memahami tentang SPF (Sun Protecting Factor). Menurut FDA (Food and Drug Administration), SPF menunjukkan tingkat perlindungan tabir surya terhadap radiasi UVB. FDA merekomendasikan nilai SPF suatu tabir surya minimal 15, sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia  mengkategorikan tabir surya dengan SPF ≥6 hingga <15 sebagai perlindungan rendah, SPF tabir surya ≥15 hingga <30 memiliki kekuatan sedang, SPF tabir surya ≥30 hingga <50 memiliki kekuatan tinggi dan tabir surya dengan nilai SPF ≥ 50 sebagai perlindungan sangat tinggi.  Menurut American Academy of Dermatology Association tabir surya dengan SPF 15  dapat menghalangi sekitar 93% radiasi UVB, SPF 30 dapat menghalangi sekitar 97% radiasi UVB, SPF 50 dapat menghalangi sekitar 98% radiasi UVB, dan SPF 100 menghalangi sekitar 99% radiasi UVB [6] [7]. Nilai SPF hanya menunjukkan tingkat perlindungan terhadap radiasi UVB. Radiasi UVA, yang mampu menembus lapisan kulit yang lebih dalam, juga berisiko merusak kulit. Oleh karena itu, sediaan tabir surya juga idealnya perlu memencantumkan label “Broad-spectrum” yang bermakna perlindungan terhadap UVA dan UVB.

      Sayangnya, penelitian bahan alam sebagai tabir surya umumnya masih terbatas pada perhitungan nilai SPF dan belum sampai penetapan broad spectrumnya. Hal ini tentunya akan menghasilkan efektifitas perlindungan yang berbeda. Beberapa bahan alam berpotensi untuk melindungi kulit dari radiasi sinar UV yang dihasilkan oleh matahari, namun efektifitasnya masih belum setara dengan zat aktif tabir surya kimiawi maupun fisik/mineral. Meskipun demikian, beberapa zat aktif bahan alam dilaporkan dapat meningkatkan nilai SPF dari tabir surya fisik maupun kimiawi seperti contohnya lignin yang dapat meningkatkan 5% nilai SPF lotion tabir surya [3]. Hal ini bisa menjadi dasar untuk pengembangan sediaan tabir surya yang mengkombinasikan bahan alam dengan bahan aktif kimia atau fisik, sehingga konsentrasi bahan kimia dapat dikurangi dan efek sampingnya pun menjadi lebih rendah.

     Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan sediaan tabir surya alami adalah terkait klaim nilai SPF produk. Klaim nilai SPF produk tabir surya tidak hanya ditentukan berdasarkan nilai SPF bahan baku ekstrak saja, namun juga perlu dilakukan pengujian terhadap nilai SPF keseluruhan sediaan produk akhir tabir surya. Keamanan suatu produk kosmetik juga perlu mempertimbangkan aspek mikrobiologi dan stabilitas produknya. Produk berbasis bahan alam rentan untuk tidak stabil dan mengalami kontaminasi mikroba. Oleh karena itu, tetap diperlukan bahan tambahan yang dapat menjaga produk tetap dalam kondisi stabil dan tidak terkontaminasi mikroba. Konsumen dan produsen perlu bersikap lebih bijak dalam menyikapi efektivitas dan keamanan tabir surya alami.

 

Kesimpulan :

Bahan alam merupakan pilihan zat aktif yang potensial untuk dikembangkan sebagai tabir surya, namun masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memastikan produk tabir bahan alam benar-benar aman dan efektif melindungi kulit dari radiasi sinar UV.

 

[1]        T. V. Hau, “Uses and mechanism of action of main ingredients in sunscreen products,” MEJAST, vol. 07, no.

             02, pp. 108–116, 2024, doi: 10.46431/MEJAST.2024.7210.

[2]        K. A. McDonald, Y. Lytvyn, A. Mufti, A.-W. Chan, and C. F. Rosen, “Review on photoprotection: a clinician’s

              guide to the ingredients, characteristics, adverse effects, and disease-specific benefits of chemical and

            physical sunscreen compounds,” Arch Dermatol Res, vol. 315, no. 4, pp. 735–749, Nov. 2022, doi:

            10.1007/s00403-022-02483-4.

[3]        H. He, A. Li, S. Li, J. Tang, L. Li, and L. Xiong, “Natural components in sunscreens: Topical formulations

             with sun protection factor (SPF),” Biomedicine & Pharmacotherapy, vol. 134, p. 111161, Feb. 2021, doi:

             10.1016/j.biopha.2020.111161.

[4]        K. R. Sari Dewi and S. Chandra Yowani, “Eksplorasi Potensi Bahan Alam Sebagai Tabir Surya,” comserva,

              vol. 3, no. 08, pp. 2924–2935, Dec. 2023, doi: 10.59141/comserva.v3i08.1105.

[5]        Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, “Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

            Indonesia Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 30 Tahun 2020 Tentang Persyaratan

            Teknis Penandaan Kosmetika.” BPOM RI, 2020.

[6]        Shimon, SV, Hernandez LE, and Nouri K., “Commentary: Sunscreen Compliance with American Academy

             of Dermatology Recommendations: A 2022 Update and Cross-Sectional Study,” J Dermatol & Skin Sci., vol.

             5(1):1–3, 2023.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Terkini

  • Tabir Surya Alami: Perlindungan atau Risiko Tersembunyi?
  • Minyak Sacha Inchi: Keajaiban Alam dengan Kandungan PUFA untuk Kesehatan dan Pengembangan Obat
  • Yuk kenalan dengan Spirulina: Produsen Protein Biru dari Sumber Daya Akuatik
  • Rahasia Daun dan Buah Sawo: Terapi Herbal Alami untuk Diabetes
  • EPIGALLOCATECHIN GALLATE (EGCG) KANDUNGAN “AJAIB” DARI TEH HIJAU YANG BERMANFAAT UNTUK KESEHATAN
Universitas Gadjah Mada

Kanal Pengetahuan

Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada

Sekip Utara, Yogyakarta 55281

email: kpf.farmasi@ugm.ac.id

© Kanal Pengetahuan Farmasi - Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju