Prof. Dr.rer.nat., Apt. Triana Hertiani, M.Si.
Jahe (Zingiber officinale Roscoe, Zingiberaceae) adalah komoditas herbal yang sangat popular di seluruh dunia sejak jaman dahulu kala. Manfaatnya sangat besar mulai dari bumbu dapur, minuman untuk menghangatkan tubuh dan diyakini memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan. Setidaknya di masyarakat Indonesia dikenal tiga jenis jahe yang berbeda varietasnya yaitu Jahe Gajah (Zingiber officinale Roscoe), Jahe Emprit atau Jahe Sunti (Zingiber officinale var. Amarum), dan Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum). Komposisi kandungan kimia dari ketiga varietas Jahe tersebut juga berbeda yang menyebabkan peruntukan yang berbeda pula. Jahe Gajah lebih sering digunakan sebagai bagian dari masakan, Jahe Emprit untuk minuman penghangat dan juga obat tradisional, sedangkan Jahe Merah sebagai obat tradisional. Di seluruh dunia, terdapat berbagai varietas Jahe dengan variasi kandungan kimia. Variasi kandungan kimia Jahe selain dipengaruhi oleh varietas Jahe, dipengaruhi pula oleh kondisi budidaya, panen dan pengolahan pascapanen.
Gingerol adalah nama golongan senyawa dalam jahe yang bertanggungjawab untuk rasa pedasnya yang khas and sering pula disebut sebagai zat pedas. Aroma khasnya disebabkan oleh kandungan dalam minyak atsirinya, yang antara lain merupakan senyawa golongan seskuiterpen dengan komponen utamanya (-)- zingiberene, dan disusul kandungan lainnya yaitu (+)-curcumene, (-)-β-sesquiphelandrene dan β-bisabolene. Masih terdapat komponen kimia lainnya yang termasuk golongan monoterpene yang juga memperkaya aroma khas jahe (Syafitri dkk, 2018). Jahe juga mengandung senyawa bioaktif antara lain flavonoid dan saponin yang berkontribusi juga pada banyak aktivitas farmakologisnya.
Gingerol tidak stabil dengan keberadaan panas dan suasana asam (pH <4) dan segera berubah menjadi shogaol (Mao dkk., 2019). Pemanasan jahe dengan suhu kurang dari 70°C lebih sedikit mengkonversi gingerol menjadi shogaol. Shogaol memiliki rasa yang kurang pedas dibandingkan gingerol dan menjadi komponen utama dari jahe kering. Hal ini yang menyebabkan bahwa pada pengobatan tradisional, jahe segar digunakan dengan tujuan yang berbeda dengan jahe kering. Jahe segar diyakini memiliki efek hangat yang ringan yang efek hangatnya meningkat jika dikeringkan. Di masyakarat, penggunaan jahe untuk minuman biasanya juga dibakar terlebih dahulu untuk menambah efeknya menghangatkan tubuh dan rasa yang khas yang tidak terlalu pedas. Mengupas jahe juga menyebabkan rasa pedasnya berkurang karena kandungan sel minyaknya banyak yang berada di kulitnya (Jayashree dkk., 2014). Sebagai bagian dari minuman penghangat, sebagai aroma dan perasa makanan, pengolahan dari jahe segar ini dapat lebih mempertahankan aroma dan rasa pedasnya yang khas. Adapun kandungan shogaol dalam jahe kering memiliki aktivitas farmakologis yang setara dengan gingerol, dan bahkan pada beberapa laporan penelitian disebutkan memiliki aktivitas yang lebih kuat serta memiliki sifat yang relative non polar (tidak larut air) (Syafitri dkk., 2018). Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan menjadi senyawa paradol yang juga memiliki efek farmakologis yang mirip. Pemanasan jahe dengan suhu kurang dari 70°C lebih sedikit mengkonversi gingerol menjadi shogaol dan dengan hasil minyak atsiri yang banyak (Huang dkk, 2012).
Secara umum kandungan minyak atsiri dari jahe kering lebih tinggi dari jahe segar, antara lain disebabkan oleh kandungan air dari jahe segar yang tinggi. Hal ini tentunya tergantung pula dengan saat pemanenan. Terdapat beberapa sumber yang menyebutkan usia terbaik untuk panen yang berbeda. Indikator untuk menentukan saat panen jahe adalah penuaan daun (Kaushal dkk., 2017). Jahe segar umumnya dipanen ketika masih belum terlalu tua (sekitar 8 bulan), sebaliknya jahe yang akan dikeringkan dipanen setelah daunnya menguning semua (sekitar 12 bulan). Penentuan saat panen yang tepat dan metode pengolahan pascapanen sangat berpengaruh terhadap kualitas jahe. Menunda panen sampai semua daun mati dapat menurunkan kadar zat pedas dan minyak atsiri rimpang, meningkatkan kandungan serat dan pati.
Aktivitas jahe untuk pengobatan terkait erat dengan kandungan polifenol selain minyak atsirinya. Kandungan polifenol yang kaya berkontribusi besar pada aktivitas terutama terkait antioksidan dari senyawa gingerol dan turunannya serta kandungan diarilheptanoid. Lie dkk (2019) melaporkan terdapat 194 jenis kandungan minyak atsiri 85 jenis gingerol (dan turunannya) serta 28 jenis diarylheptanoid. Komponen pada jahe segar dan jahe kering relative sama, perbedaan adalah pada komposisinya. Jahe diyakini memiliki aktivitas memperlancar peredaran darah, tetapi efeknya pada gastrointestinal menjadi penyebab efek antiemetik (anti mual). Kandungan aktif Jahe, gingerols dan turunannya terakumulasi di jaringan gastrointestinal walaupun juga dilaporkan dapat mencapai jaringan dalam waktu kurang lebih 30 menit (Bode dan Dong, 2011). Aktivitas farmakologis yang luas serta relative aman, menjadikan Jahe komponen pada banyak produk nutrasetikal dan obat tradisional. Perbedaan cara pengolahan Jahe menyebabkan perbedaan komposisi kandungan kimia. Secara umum jenis kandungannya mirip tetapi dengan komposisi yang berbeda, sehingga manfaat yang diperoleh dapat berbeda pula pada intensitasnya.
Daftar bacaan:
Bode, A.M. dan Dong, Z., The Amazing and Mighty Ginger, dalam Benzie IFF, Wachtel-Galor S, editors. Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical Aspects. 2nd edition. Boca Raton (FL): CRC Press/Taylor & Francis; 2011.
Huang, B., Wang, G., Chu, Z., dan Qin L., 2012, Effect of oven drying, microwave drying,and silica gel drying methods on the volatile components of ginger (Zingiber officinale Roscoe) by HS-SPME-GC-MS. Drying Technol. 30(3): 248–55. https://doi.org/10.1080/07373937.2011.634976.
Jayashree, E., Visvanathan, R., dan John Zachariah T. 2014., Quality of dry ginger(Zingiber officinale) by different drying methods, J Food Sci Technol (November 2014) 51(11):3190–3198
Kaushal, M., Gupta, A., Vaidya, D., dan Gupta, M., 2017, Postharvest Management and Value Addition of Ginger (Zingiber Officinale Roscoe): A Review, International Journal of Environment, Agriculture and Biotechnology (IJEAB) Vol-2, Issue-1, 397-412
Liu, Y., Liu J dan Zhang, Y., 2019, Research Progress on Chemical Constituents of Zingiber officinale Roscoe, Biomed Res. Int., https://doi.org/10.1155/2019/5370823
Mao, Q-Q., Yu, X-Y., Cao, S-Y., Gan, R-Y., Corke, H., Beta, T., dan Li, H-N., 2019, Bioactive Compounds and Bioactivities of Ginger (Zingiber officinale Roscoe), Foods, 8, 185L 1- 21
Syafitri, D.M., Levita, J., Mutakin, M., dan Diantini, A. 2018, A Review: Is Ginger (Zingiber officinale var. Roscoe) Potential for Future Phytomedicine? IJAS: 8(1): 1 – 6
Setyawan, A.D. 2002, Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc.) berdasarkan Kandungan Kimia Minyak Atsiri, Biosmart, 4(2): 48-54