Penulis: Dyah Aryantini
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Farmasi UGM
Malaria merupakan penyakit berbahaya yang menjadi penyebab kematian di beberapa benua seperti America, Afrika dan Asia khususnya pada negara tropis seperti Indonesia, tragisnya adalah bahwa korban malaria kebanyakan adalah balita. Malaria disebabkan oleh sejenis protozoa Plasmodium yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium ovale, Plasmodium vivax, dan Plasmodium malariae. Plasmodium falciparum adalah protozoa yang paling bertanggungjawab terhadap kasus malaria yang parah dan fatal [1]. Protozoa penyebab malaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang menyebabkan anemia karena serangan terhadap sel darah merah. Salah satu penyebab kematian akibat penyakit malaria adalah malaria serebral yang terjadi karena penyumbatan pada pembuluh darah otak yang diawali dengan gejala hilangnya kesadaran dan tidak segera ditangani [2].
Penyebaran penyakit malaria kian diperparah dengan adanya mutasi genetik dari protozoa, peningkatan kekebalan terhadap obat antimalaria serta minimnya penelitian dan penemuan obat antimalaria baru maupun pengembangan vaksin antimalaria. Sehingga penelitian untuk mendapatkan sumber obat antimalaria baru merupakan salah satu hal yang mendesak. Penggalian dan penelusuran berbagai sumber telah dilakukan, ekosistem laut merupakan salah satu target yang menjanjikan sebagai sumber untuk penemuan obat baru.
Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara terkaya dalam hal biodiversitas dan jumlah organisme biota laut. Sumber kekayaan laut di Indonesia sangat melimpah dan belum tereksplorasi secara maksimal. Biota laut menjanjikan kekayaan yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia baik dalam hal ketersediaan makanan maupun senyawa bioaktif dengan beragam struktur kimia yang bermanfaat sebagai obat [3]. Biodiversitas tertinggi di lautan Indonesia yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut yang tinggi adalah pada ekosistem terumbu karang, [4]. Ekosistem laut beserta kekayaan biota laut merupakan satu diantara 17 goals dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh PBB tahun 2015 untuk mensejahterakan masyarakat di tingkat global [5].
Sejak ditemukan senyawa antiviral dan antileukemia yang berasal dari spons laut pada tahun 1950an, ribuan senyawa aktif yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai obat telah dieksplorasi. Namun tingkat kesulitan untuk mendapatkan material dan kemungkinan terjadinya kerusakan jangka panjang pada ekosistem laut terkadang menjadi salah satu pertimbangan untuk mengeksplorasi biota laut. Biota laut mengandung senyawa metabolit yang berbeda dengan kandungan metabolit yang ada di daratan, misalnya senyawa bromin yang hanya terkandung dalam organisme laut. Beberapa tahun terakhir sudah banyak senyawa bioaktif yang dieksplorasi dari organisme laut sperti rumput laut, spons, karang lunak, alga merah dan coklat serta fitoplankton. Spons laut merupakan salah satu kekayaan laut yang merupakan sumber paling produktif dan penting untuk penemuan senyawa bioaktif baru. Spons laut merupakan bentuk hewan multisel paling sederhana yang berasal dari komponen gelatin, bergerak sangat lambat atau bahkan tidak bergerak sehingga tidak memiliki alat pertahanan seperti cangkang atau duri, namun spons laut memiliki metabolit yang berguna untuk melindunginya dari lingkungan laut dan serangan hewan lainnya [1]. Keragaman kandungan kimia dalam spons sungguh luar biasa, diantaranya adalah terpenoid, sterol, alkaloid, peptida siklik, asam lemak, peroksida, turunan asam amino, glikosida, keton, kuinon, makrolida dan poliketid [3], [6]. Keragaman kandungan kimia dari spons laut dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan laut, adanya tekanan yang terus menerus dari predator, organisme pesaing, dan patogen. Terkait penemuan obat baru dan pemanfaatan di bidang farmasi, ekplorasi spons masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena minimnya data empiris atau pemanfaatan secara tradional serta tingkat kesulitan dalam pengumpulan material. Melalui kecanggihan teknologi, dalam 10 tahun terakhir ini sudah 5000 jenis senyawa bioaktif yang berhasil ditemukan dari perairan dangkal hingga 900 meter di bawah permukaan laut [7].
Penemuan senyawa aktif dari spons Indonesia dimulai pada akhir 1980, kala itu ditemukan dua senyawa baru oleh Corley [8] yakni laulimalida dan isolaulimalida dari Hyatella sp. yang keduanya aktif sebagai agen antitumor bahkan 100 kali lebih kuat dibandingkan Taxol. Senyawa bioaktif dalam spons laut memiliki efek farmakologi seperti antikanker, antibakteri, antijamur, antiviral, antiprotozoal, obat cacing, penghilang nyeri dan meningkatkan daya tahan tubuh [1]. Senyawa golongan alkaloid Pirollokuinolin yang diisolasi dari spesies spons Histodermella sp. memiliki aktivitas sebagai antikanker [4]. Enam spesies spons laut di Indonesia yakni Tedania ignis, Agelas conifera, Clathria bulbotoxa, Clatria reinwardti, Haliclona koromella, and Carteriospongia foliascens dilaporkan Kasmiati [7] bahwa Clathria bulbotoxa paling sitotoksik diantara lainnya.
Berdasarkan latar belakang efek antiprotozoa dari spons laut maka penelusuran senyawa bioaktif antimalaria dikembangkan. Unguiculin A dan Ptilomycalins E-H adalah senyawa antimalaria guanidine alkaloid yang diisolasi dari spons Monanchora unguiculata di lautan Madagascar yang memiliki kemampuan dalam menghambat Plasmodium falciparum [9]. Beberapa spons laut di Indonesia seperti Acanthostrongylophora sp. dari perairan Manado dan Aplysinella strongylata dari perairan Bali merupakan spesies penghasil senyawa bioaktif antimalarial seperti Manzamin, deoxymanzamin dan Psammaplysin [10], [11]. Penemuan senyawa baru antimalaria Kaimanol dan Saringosterol dari spons Xestospongia sp. (gambar 1) yang diambil di perairan laut Indonesia memberikan aktivitas menghambat Plasmodium falciparum strain 3D7 dengan efek terkuat diberikan oleh Saringosterol IC50 sebesar 0,250 nM sedangkan Kaimanol memberikan IC50 sebesar 359 nM yang dibandingkan terhadap kontrol Artemisinin (IC50 = 5,207×10-3) [12].
Gambar 1. Xestospongia sp.[13]
Xestospongia sp. merupakan spons yang diperoleh dari perairan Papua merupakan anggota keluarga Petrosiidae yang memiliki 33 spesies spons. Spons yang kaya akan kandungan alkaloid, kuinion, hidrokuinon, sterol dan benzaldehid ini pernah dilaporkan memiliki aktitas sebagai antimalarial, antikanker dan anti jamur. Ekstrak heksana dari spons Xestospongia sebelumnya telah diteliti aktivitasnya dalam menghambat Plasmodium falciparum sehingga memberikan peluang untuk dilakukan pemisahan lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa tunggal yakni Kaimanol dan Saringosterol
Pengujian efek farmakologi lain terhadap Kaimanol dan Saringosterol perlu dilakukan sehingga kedua senyawa baru tersebut dapat menjadi senyawa penuntun penemuan obat baru khususnya penemuan obat malaria baru non resisten. Namun tetap diperlukan adanya pendekatan holistic terhadap uji efek farmakologisnya, karena uji In Vitro dari Plasmodium falciparum terbatas pada mekanisme aksi plasmodium tertentu saja. Untuk reproduksi yang melimpah dari senyawa baru tersebut dapat dilakukan dengan teknik fermentasi bakteri endofit berbasis rekayasa metabolik (metabolite engineering) yang juga bertujuan untuk menjaga ekosistem laut dan mencegah kepunahan.
Data yang terhimpun dan pernah dilaporkan menunjukkan minimnya eksplorasi biota laut, padahal metabolit sekunder yang potensial dalam memberikan efek farmakologi di lingkungan laut berbeda dengan di darat dan memberikan bioprospeksi yang menjanjikan. Ada banyak strategi yang dapat dilakukan untuk menyelami dan menggali sumber kekayaan hayati di bawah laut sebagai sumber penemuan obat baru. Hal ini merupakan tantangan bagi para peneliti untuk mengeksplorasi spons laut lebih jauh lagi untuk mengembangkan penemuan obat antimalarial dari sumber biota laut.
PUSTAKA
[1] B. D. Hikmawan, S. Wahyuono, and E. P. Setyowati, “Marine sponge compounds with antiplasmodial properties: Focus on in vitro study against Plasmodium falciparum,” J. Appl. Pharm. Sci., vol. 10, no. 5, pp. 142–157, 2020, doi: 10.7324/JAPS.2020.10519.
[2] E. Fattorusso and O. Taglialatela-Scafati, “Marine antimalarials,” Mar. Drugs, vol. 7, no. 2, pp. 130–152, 2009, doi: 10.3390/md7020130.
[3] M. Laport, O. Santos, and G. Muricy, “Marine Sponges: Potential Sources of New Antimicrobial Drugs,” Curr. Pharm. Biotechnol., vol. 10, no. 1, pp. 86–105, Jan. 2009, doi: 10.2174/138920109787048625.
[4] A. S. Dewi, K. Tarman, and A. R. Uria, “Marine Natural Products : Prospects and impacts on the sustainable development in Indonesia,” Proceeding Indones. students’ sceintific Meet., no. May, pp. 54–63, 2008.
[5] “Sekilas SDGs |.” http://sdgs.bappenas.go.id/sekilas-sdgs/ (accessed Dec. 19, 2020).
[6] J. W. Blunt, A. R. Carroll, B. R. Copp, R. A. Davis, R. A. Keyzers, and M. R. Prinsep, “Marine natural products,” Natural Product Reports, vol. 35, no. 1. Royal Society of Chemistry, pp. 8–53, Jan. 01, 2018, doi: 10.1039/c7np00052a.
[7] K. Kasmiati, Y. Yoshioka, T. Okamoto, and M. Ojika, “New crambescidin-type alkaloids from the Indonesian marine sponge Clathria bulbotoxa,” Mar. Drugs, vol. 16, no. 3, 2018, doi: 10.3390/md16030084.
[8] D. G. Corley, R. Herb, R. E. Moore, P. J. Scheuer, and V. J. Paul, “Laulimalides: New Potent Cytotoxic Macrolides from a Marine Sponge and a Nudibranch Predatorf,” J. Org. Chem., vol. 53, no. 15, pp. 3644–3646, 1988, doi: 10.1021/jo00250a053.
[9] C. PE et al., “Unguiculin A and Ptilomycalins E-H, Antimalarial Guanidine Alkaloids from the Marine Sponge Monanchora unguiculata,” J. Nat. Prod., vol. 80, no. 5, 2017, doi: 10.1021/ACS.JNATPROD.6B01079.
[10] I. W. Mudianta et al., “Psammaplysin derivatives from the balinese marine sponge Aplysinella strongylata,” J. Nat. Prod., vol. 75, no. 12, pp. 2132–2143, Dec. 2012, doi: 10.1021/np300560b.
[11] K. V. Rao et al., “Manzamine B and E and ircinal A related alkaloids from an Indonesian Acanthostrongylophora sponge and their activity against infectious, tropical parasitic, and Alzheimer’s diseases,” J. Nat. Prod., vol. 69, no. 7, pp. 1034–1040, Jul. 2006, doi: 10.1021/np0601399.
[12] M. Murtihapsari et al., “A new antiplasmodial sterol from Indonesian marine sponge, Xestospongia sp,” Nat. Prod. Res., 2019, doi: 10.1080/14786419.2019.1611815.
[13] “Xestospongia – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.” https://id.wikipedia.org/wiki/Xestospongia (accessed Dec. 19, 2020).