MESKIPUN bisa dibilang merupakan sebuah terobosan yang menjanjikan solusi pada banyak permasalahan, sebenarnya teknologi nano bukanlah hal baru di dunia. Nanoteknologi modern sudah dimulai sejak ditemukannya mikroskop elektron yang membuat kita mampu melihat sampai seukuran atom, pada 1981. Sejak saat itu, teknologi yang memanfaatkan keunikan ukuran nano ini dimulai di berbagai bidang. Di bidang farmasi dan kedokteran, nanoteknologi banyak dimanfaatkan untuk keperluan teknologi formulasi, penghantaran obat (drug delivery), hingga diagnosis penyakit.
Menurut pengertiannya, teknologi nano merupakan segala bentuk teknologi pada ukuran partikel nanometer, atau lebih spesifik pada satu hingga ratusan nanometer. Pada ukuran ini, berbagai sifat unik dari suatu materi menjadi muncul, dimana tidak ditemukan pada sifat materi yang sama pada ukuran yang lebih besar. Adalah Dr Ronny Martien, seorang dosen dan peneliti pada Departemen Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, menjadi satu di antara peneliti di Indonesia yang fokus menggeluti pengembangan teknologi nano ini untuk dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
”Banyak sekali kelebihan penggunaan teknologi nano ini. Misalnya, di bidang farmasi kita sering menemukan kesulitan untuk melarutkan suatu obat di dalam air, padahal tidak mungkin kan, kita minum obat di dalam etanol murni atau aseton. Nah, salah satu solusinya, ya, di-nano-kan,” jelasnya. Menurut Ronny, dengan dibuat dalam bentuk nanopartikel, meski obat tidak terlarut di dalam air, namun bila diminum, partikel obat tetap akan mampu menembus membran saluran pencernaan sehingga dapat diserap dengan baik oleh tubuh.
Masih menurut Ronny, pemanfaatan teknologi nano seperti ini sangat berguna khususnya bila kita ingin mengembangkan obat berbasis bahan alam. ”Banyak sekali senyawa aktif dari bahan alam selama ini sulit sekali dikembangkan karena kelarutannya yang buruk di dalam air. Lihat saja, misalnya kurkumin itu, meski sebenarnya poten, kalau kita minum jamu kunir asem harus sampai satu gelas atau satu botol, itu karena kurkuminnya tidak mudah terserap oleh usus karena tidak larut. Ke depannya jadi sulit dikembangkan secara industri. Dengan di-nano-kan, senyawa-senyawa bahan alam seperti kurkumin ini jadi lebih potensial secara industri,” ungkapnya.
Selain untuk pengembangan bahan alam, Ronny juga mengembangkan teknologi nano untuk penghantaran protein seperti insulin, vaksin, dan protein antikanker bersama koleganya, Prof Sismindari, peneliti pada Departemen Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi UGM. ”Selama ini insulin hanya bisa disuntikkan, karena akan langsung rusak bila bertemu enzim di dalam saluran pencernaan. Kalau penggunaannya rutin jadi tidak nyaman. Nah, dengan teknologi nano, nanti insulin bisa diminum. Lebih nyaman bagi pasien,” ujar Ronny. ”Seandainya akan disuntikkan pun, nanopartikel ini aman karena tidak akan menyumbat pembuluh darah. Ini misalnya, kalau kita ingin obat kita bertahan lebih lama di dalam sirkulasi darah, jadi bisa mengurangi frekuensi penggunaan,” lanjutnya.
Meskipun sangat bermanfaat untuk formulasi obat di dalam air, namun pemanfaatannya tidak hanya sebatas itu. Nanoteknologi juga dapat dimanfaatkan untuk obat-obat yang lebih cocok dilarutkan dalam minyak, supaya lebih baik formulasinya. ”Misalnya vitamin D yang sedang saya kembangkan sekarang. Vitamin D ini banyak sekali pemanfaatannya, bisa untuk obat minum maupun untuk kulit dalam kosmetik. Kalau kita buat nanoemulsi, penyerapannya menjadi lebih optimal lagi,” jelas Ronny.
”Jadi itu contoh-contoh riset yang sangat cocok dikembangkan di Indonesia karena tidak membutuhkan teknologi tingkat tinggi dan peralatan yang sangat mahal. Itu saja sudah banyak yang bisa kita explore (teliti, red). Saya ingin mengajak para peneliti masa kini untuk memanfaatkan teknologi ini karena sangat menjanjikan ke depannya, bisa untuk apapun,” pungkasnya.
Tertarik untuk tahu lebih banyak? Dr Ronny dapat ditemui di kantornya di Program Pascasarjana Fakultas Farmasi UGM, dimana saat ini beliau menjabat sebagai sekretaris program S3.
20 Januari 2019.
Oleh: Adhyatmika