Oleh : Prof. Dr. Wahyono, SU., Apt
Penggunaan tanaman sebagai obat telah lama dikenal oleh masyarakat dengan latar belakang sejarah dan budaja yang berbeda. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanaman obat sudah sangat membantu di dalam bidang kesehatan baik sebelum ditemukan obat-obat modern hingga sampai saat ini. Sudah lama masyarakat Indonesia memanfaatkan tanaman obat untuk meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitatif), pencegahan penyakit (preventif) serta penyembuhan (kuratif). Penggunaan jamu (obat tradisional Indonesia) sudah tidak asing lagi dan selalu dikaitkan dengan tanaman obat, meskipun sebetulnya jamu dapat berasal juga dari bahan mineral maupun dari hewan. Ada beberapa macam formula jamu yang terkenal di Indonesia misalnya cabe puyang untuk obat rematik, daun ketepeng untuk kurap, beras kencur untuk penyegar, daun jambu biji muda untuk diare, daun saga obat sariawan serta biji kedawung untuk mulas (Anonim, 1996). Jaman dahulu demikian terkenalnya jamu untuk menjaga kesehatan hingga setiap rumah tersedia botekan yang berupa wadah atau almari yang terdiri dari beberapa slorokan-slorokan yang masing-masing berisi simplisia (bagian kering dari tanaman) yang berbeda. Untuk membuat jamu godog tinggal mengambil simplisia yang diperlukan kemudian diberi air secukupnya dan direbus. Campuran simplisia tersebut direbus berkali-kali sampai airnya tidak berasa pahit lagi (Sutrisno, 1996).
Produk-produk bahan alami asing sudah banyak yang terdaftar di Indonesia, sebagai suplemen makanan. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa semakin banyaknya produk obat bahan alami asing yang masuk ke Indonesia merupakan ancaman bagi industri obat bahan alami nasional. Untuk menghadapi ancaman tersebut, tidak ada jalan lain Indonesia harus membangun komitmen nasional yang kuat, sehingga segala potensi yang ada dapat dikelola secara profesional untuk mencapai tujuan bersama secara nasional guna meningkatkan daya saing produk dan industri nasional di bidang obat bahan alami (Ritiasa, 2004).
Penggunaan tanaman untuk obat mempunyai daya tarik tersendiri. Daya tarik tersebut antara lain bahwa penggunaan tanaman obat selain murah, juga lebih alami dari pada obat sintetik. Namun perlu dicatat bahwa penggunaan tanaman obat tersebut tidak sepenuhnya terlepas dari efek samping. Hal ini dapat terjadi mengingat bahwa penelitian tanaman obat masih sangat sedikit, terutama yang menyangkut cara penggunaan agar tepat takarannya. Penelitian-penelitian yang bertujuan untuk memperkecil risiko bahaya, harus selalu dilakukan dalam rangka untuk memperbesar manfaat yang diperoleh. Alasan lain untuk menggunakan tanaman obat karena adanya banyak pilihan dan kebebasan. Ketika seorang berjuang melawan penyakitnya, beberapa pilihan yang diberikan kepada obat modern tidak begitu menarik (seperti pengobatan yang mahal dan menyakitkan, dan peluang tipis untuk sembuh), hal ini berbeda dengan obat dari tanaman yang mempunyai banyak pilihan serta mempunyai daya tarik psikologis (Spinella, 2005).
Orang menggunakan rebusan dari tanaman obat (jamu godog) untuk tujuan pengobatan sangat beralasan, karena tidak hanya senyawa-senyawa yang sangat polar (larut air) saja yang larut namun senyawa-senyawa yang seharusnya tidak larut di airpun dapat ikut larut. Hal ini terjadi karena ada senyawa-senyawa lain yang membantu melarutkannya (Samuellson, 1999; Mills and Bone, 2000). Sebagai contoh adalah senyawa kubebin yang merupakan senyawa utama dalam buah kemukus (Piper cubeba). Senyawa ini dalam keadaan murni tidak dapat larut dalam air panas meskipun sudah direbus. Namun apabila kita membuat jamu godog yang komposisinya hanya buah kemukus saja, maka keberadaan dari kubebin dapat terdeteksi dalam air rebusan tersebut. Ini berarti ada senyawa lain yang membantu melarutkan kubebin di air panas tersebut (Wahyono et al., 2006). Tentunya contoh diatas berlaku juga untuk senyawa-senyawa berkhasiat lainnya yang berada bersama-sama di dalam tanaman.
Sistem kesehatan Nasional maupun Kebijaksanaan Obat Nasional menyatakan bahwa obat tradisional yang ternyata berdaya guna dan berhasil guna serta diterima oleh masyarakat perlu dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian maka penggunaan dalam pelayanan kesehatan diupayakan sedemikian rupa sehingga menjadi aman, berkhasiat dan bermutu, artinya secara medis harus dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan jamu hingga dapat diterima secara medis harus ditingkatkan. Suatu produk obat tradisional sebelum diedarkan di pasaran harus memenuhi persyaratan mutu yaitu manjur (efficacy), aman (safety), dan dapat diterima (acceptable). Meskipun demikian, baik produsen maupun pemerintah tidak dapat menjamin secara mutlak mutu suatu produk obat herbal yang ada dipasaran, sehingga dapat difahami kalau ada produk herbal yang ditarik dari peredaran.
Bagaimana kita dapat mengetahui tanaman obat itu berkhasiat. Dari prilaku hewan dapat dijadikan contoh asal-muasal pemakaian tanaman untuk obat. Satu kelompok simpanse di Tanzania diketahui menggunakan obat dari tanaman genus Aspilia untuk pengobatannya. Simpanse menelan daun tanpa mengunyahnya sehingga mereka memakannya bukan karena rasanya. Mereka tidak mendapat nutrisi yang nyata dari tumbuhan tersebut, jadi pertanyaannya, mengapa mereka memakannya? Jawabannya terdapat pada kandungan kimia dalam tanaman tersebut yang bernama thiarubine-A, dengan khasiat membunuh parasit dan mikroorganisme pada saluran pencernakan. Simpanse yang sengaja makan tumbuhan tersebut nampak bebas dari suatu masalah. Dengan demikian simpanse secara naluri melakukan hal tersebut demi kesehatan dan kenyamanan seperti yang pernah dilakukan generasi sebelumnya. Untuk prilaku manusia yang diberi kelebihan dari hewan tentunya mencermati manjur tidaknya suatu tanaman obat ada pertimbangan lain yang lebih maju karena manusia dikarunai ilmu. Misalnya memperhatikan bentuk, warna, bau, dan lain-lainnya (Mills and Bone, 2000). Dalam istilah ilmiah hal tersebut secara kolektif disebut : Doktrin tanda-tanda (doctrine of signatures) yaitu satu sistem yang menyatakan bahwa Allah telah memberikan petunjuk visual bagi tiap penggunaan tanaman, karena tanaman ditempatkan di bumi untuk kebaikan umat. Orang-orang yang menggunakan percaya bahwa kunci penggunaannya tersembunyi di dalam bentuk (tanda) tanaman tersebut. Misalnya jahe berwarna kuning, mengindikasikan kegunaan dalam sistem pencernaan seperti halnya cairan kekuningan yang berkaitan dengan tubuh. Untuk gangguan penyakit di separuh bagian atas tubuh pengobatan menggunakan bagian atas tanaman sedangkan untuk bagian bawah tubuh diobati dengan tanaman yang ada dibawah. Misalnya jahe merupakan tanaman berumbi di bawah tanah, ini biasanya digunakan untuk gangguan bagian bawah tubuh seperti gangguan pencernaan, mual, problem seksual serta gangguan limpa. Sebaliknya daun lidah buaya (Aloe vera) merupakan bagian tanaman yang tumbuh di atas tanah digunakan untuk keluhan di tubuh bagian atas seperti sakit kepala, sariawan dll. (Pringgoutomo, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1996, Penyuluhan Jamu Gendong, Ditjen POM, Depkes RI, Jakarta
Ritiasa, K., 2004, Seminar aktif menciptakan resep-resep terbaru dalam pengobatan diabetes mellitus dan hipertensi menggunakan tanaman obat, Cilangkap, 4-5 September 2004, Yayasan Pengembangan tanaman obat Karyasari, Jakarta.
Mills, M., and Bone, K., 2000, Principles and Practice of Phytotherapy, Churchill Livingstone, London
Pringgoutomo, S., 2005, Pokok- pokok efektifitas obat herbal Indonesia ditinjau secara filsafat dan ilmiah, dalam Seminar Indonesian Herbal Fair, tanggal 11- 13 Maret 2005, Jakarta
Sutrisno, R. B., 1996, Reverse Aprroach and The A + B = C Equation, The New, Original and Reliable Technique in Qualitatif-Quantitative Analysis of Traditional Drugs, Faculty of Pharmacy, Pancasila University, Jakarta.
Samuelsson, G., 1999, Drug of Natural Origin, A Textbook of Pharmacognosy, 4th Ed., 57, 180, Gunnar Samuelsson and apotekarsocieteten, Sweden.
Spinella, M., 2005, Concise Handbook of Psychoactive Herbs, The Haworth Herbal Press, Oxford.
Wahyono, 2006, Riset produksi marker tanaman obat kemukus (Piper cubeba Linn) , Laporan Penelitian, Badan POM-UGM