Setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menerbitkan persetujuan penggunaan obat dalam kondisi darurat untuk vaksin Covid-19, dengan nama CoronaVac, yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co., Ltd., Beijing, Cina (Sinovac) pada 11 Januari 2021 lalu sebagaimana dilansir oleh Satgas Penanganan Covid-19[1], beberapa pertanyaan mulai beredar di masyarakat. Salah satu pertanyaan tersebut adalah apakah setelah seseorang divaksinasi dengan vaksin tersebut akan memberikan hasil reaktif ketika diuji dengan rapid test atau positif ketika diuji dengan swab PCR? Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu memahami setidaknya dua hal, yaitu (1) material biologis dalam vaksin yang digunakan, dan (2) prinsip dasar pengujian Covid-19 dengan rapid test, swab PCR, atau metode lain.
Saat ini di dunia, vaksin untuk Covid-19 yang telah mendapatkan izin edar ada dua, yaitu vaksin yang diproduksi oleh Pfizer-BioNTech (Pfizer) yang disetujui diedarkan Saudi Arabia dan negara lainnya, serta vaksin Sinopharm yang disetujui untuk digunakan oleh Cina, Uni Emirat Arab, dan Bahrain[2]. Sedangkan vaksin yang mendapatkan persetujuan untuk penggunaan darurat berjumlah 8[2], termasuk vaksin Sinovac yang digunakan di negara kita.
Vaksin diberikan ke dalam tubuh individu untuk dapat memicu tubuh memproduksi antibodi yang dapat mempertahankan tubuh kita dari patogen penyebab infeksi, dalam konteks ini adalah virus. Vaksin secara konvensional digolongkan berdasarkan jenis material aktifnya, yaitu vaksin yang berisi (1) virus yang dilemahkan (attenuated vaccine), (2) virus yang diinaktivasi (inactivated vaccine), dan (3) bagian dari virus (subunit/antigenic vaccine)[3]. Unsur patogen sebagai material aktif dalam vaksin sudah dimodifikasi sehingga tidak dapat menginfeksi tubuh inang walaupun secara sengaja diberikan ke dalam tubuh. Vaksin Sinovac yang digunakan di negara kita merupakan vaksin dengan material berupa virus yang dilemahkan (inactivated vaccine)[4], yaitu berisi virus SARS-CoV-2 yang sudah dilemahkan sehingga tidak bisa lagi memperbanyak diri (bereplikasi) di dalam sel inang, namun masih memiliki protein spike, suatu protein yang penting untuk penempelan virus pada sel inang[5].
Selain vaksin konvensional seperti di atas, ada juga jenis vaksin yang disebut vaksin RNA yang memiliki material komponen aktif berupa asam ribonukleat (ribonucleic acid, RNA). Untuk memproduksi vaksin RNA tersebut, molekul RNA disintesis untuk meniru materi genetik RNA yang dimiliki oleh virus. Ketika diinjeksikan ke dalam tubuh inang (dalam hal ini adalah seseorang yang divaksinasi), sel-sel inang akan “membaca” dan “menerjemahkan” molekul RNA tersebut untuk memproduksi protein tertentu. Sebagai contoh, vaksin Pfizer merupakan vaksin mengandung RNA yang akan diterjemahkan menjadi protein spike[6].
Pada kedua contoh vaksin tersebut, baik vaksin Sinovac maupun Pfizer, protein spike (dapat disebut sebagai antigen) inilah yang akan dikenali oleh sel-sel sistem imun sebagai zat asing sehingga sel inang akan mengaktivasi sistem pertahanan tubuh, salah satunya dengan menginduksi produksi antibodi dan membentuk memori terhadap antigen tersebut. Sehingga, jika tubuh seseorang yang telah memiliki “sel memori” setelah vaksinasi terpapar oleh virus yang sama di kemudian hari, seseorang tersebut telah memiliki ketahanan yang cukup dengan memproduksi antibodi yang mampu mengeliminasi virus tersebut serta mencegah berkembangnya virus tersebut di dalam tubuhnya.
Apakah kedua jenis vaksin ini dapat mempengaruhi hasil rapid test atau swab PCR Covid-19?
Kedua vaksin di atas secara umum akan meningkatkan produksi antibodi yang bereaksi terhadap SARS-CoV-2. Antibodi yang diproduksi utamanya adalah diedarkan di dalam darah atau limfatik. Oleh karena itu, bila dilakukan rapid test antibodi (yang umum dikenal dengan rapid test via sampel darah) dengan mekanisme penentuan jumlah antibodi yang bereaksi terhadap SARS-CoV-2, kemungkinan vaksin ini akan menyebabkan hasil positif jika seseorang yang divaksinasi telah membentuk antibodi dalam jumlah tertentu yang dapat terdeteksi. Bila rapid test dilakukan dengan swab antigen, maka kemungkinan bagi orang yang telah divaksinasi dan tidak dalam kondisi terinfeksi tidak akan diperoleh hasil positif. Teknik swab atau usapan adalah pengambilan sampel pada area tubuh tertentu dengan melakukan usapan. Untuk pengujian Covid-19 umumnya dilakukan pada area nasofaring (rongga yang menghubungkan hidung dan saluran nafas). Pada area ini antibodi yang terbentuk sebagai hasil pemberian vaksin tidak ada, sehingga kemungkinan memberikan hasil yang negatif.
Lalu, bagaimana bila kita melakukan swab PCR? Sama halnya dengan swab antigen, swab PCR juga kemungkinan akan memberikan hasil yang negatif selama sampel diambil dari nasofaring atau orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan).
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana bila kita mendeteksi kondisi Covid-19 menggunakan GeNose[7] atau screening test serupa? Mari kita kembali ke prinsip dasar deteksi. GeNose mendeteksi Covid-19 berdasarkan keberadaan volatile organic compound (molekul organik mudah menguap, MOMM) yang ada pada hembusan nafas[8]. Pada kondisi Covid-19 terjadi perubahan MOMM pada hembusan nafas, sehingga singkatnya dapat digunakan untuk membedakan kondisi Covid-19 dan non-Covid-19[9], [10] berdasarkan database yang diolah oleh kecerdasan buatan yang dimiliki oleh alat tersebut. Karena belum ada informasi atau database tentang pola MOMM individu yang divaksinasi dengan vaksin tersebut, maka belum dapat diperkirakan apakah pemberian vaksin akan memicu hasil positif pada deteksi menggunakan GeNose. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah apakah perubahan MOMM yang dideteksi oleh GeNose adalah berdasarkan infeksi SARS-CoV-2, yang artinya virus dalam bentuk utuh atau aktif; bukan hanya sebagian dari komponen virus ataupun virus yang dilemahkan (inaktif) sebagaimana material vaksin yang digunakan. Jika perubahan MOMM terjadi karena virus utuh dan aktif yang menginfeksi tubuh, maka pemberian vaksin tidak akan memberikan hasil positif pada deteksi dengan GeNose. Sebaliknya, jika ternyata perubahan MOMM yang terdeteksi oleh alat tersebut juga diinduksi hanya dengan sebagian dari komponen virus atau virus yang inaktif, maka vaksinasi mungkin dapat menyebabkan hasil positif pada deteksi dengan GeNose.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah limit of detection (batas deteksi) dari masing-masing metode uji. Semakin sensitif metode yang digunakan, maka metode tersebut dapat mendeteksi SARS-CoV-2 atau komponennya atau produk sistem imun (untuk rapid antibodi) dalam jumlah yang sangat kecil. Sehingga, kemungkinan menghasilkan hasil positif setelah pemberian vaksin menjadi meningkat. Sebagian besar metode rapid test yang ada untuk deteksi Covid-19 saat ini mendeteksi keberadaan molekul yang disebabkan oleh jumlah virus yang tinggi yang juga menyebabkan kondisi infeksi (silakan lihat Gambar yang diadaptasi dari Mina et al., 2020)[11]. Sebaliknya, vaksinasi umumnya dilakukan dengan pemberian komponen virus yang ada dibawah jumlah untuk dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Diantara swab PCR, swab antigen, rapid antibodi, dan GeNose, metode yang memiliki tingkat sensitivitas paling tinggi sekaligus sebagai gold standard saat ini adalah swab PCR. Rapid test akan memiliki kecenderungan untuk menyebabkan hasil deteksi positif bila vaksin diberikan melalui hidung. Tetapi, bila vaksin diberikan melalui injeksi di tempat lain, kemungkinan hasil positif tidak akan terjadi.
Pernyataan:
Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak-pihak yang disebutkan di dalam artikel ini.
Pustaka:
- https://covid19.go.id/berita/vaksin-sinovac-teruji-minim-efek-samping-berkhasiat-dan-halal
- https://www.nytimes.com/interactive/2020/science/coronavirus-vaccine-tracker.html]
- Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. 2015, Cellular and Molecular Immunology, 8th, WB Saunders Co., Philadelphia.
- https://www.nytimes.com/interactive/2020/health/sinovac-covid-19-vaccine.html
- https://www.nytimes.com/interactive/2021/health/how-covid-19-vaccines-work.html
- https://www.nytimes.com/interactive/2020/health/pfizer-biontech-covid-19-vaccine.html
- https://www.ugm.ac.id/id/berita/20551-genose-ugm-dapatkan-izin-edar-dan-siap-dipasarkan
- https://mipa.ugm.ac.id/2020/12/cara-kerja-genose-alat-deteksi-covid-19-buatan-ugm-yang-dapat-izin-edar/
- https://doi.org/10.1016/j.ebiom.2020.103154
- https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2020.100609
- https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp2025631
Penulis:
apt. Muhammad Novrizal Abdi Sahid, M.Eng., Ph.D.
Dr. apt. Muthi’ Ikawati, M.Sc.
Prof. Dr. apt. Ediati Sasmito, S.E.
Laboratorium Rekayasa Makromolekul, Departemen Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada