Penulis: Triana Hertiani
Rasa pahit selain aroma khas seringkali membuat seseorang menghindari mengkonsumsi jamu. Aroma khas jamu saat ini justru menjadi daya tarik khusus sebagai bagian dari efek eksotis “heritage”. Berbagai upaya untuk menghilangkan rasa pahit ini sudah dilakukan sebagai bagian dari memperluas cakupan pengguna Jamu melalui modernisasi. Hal yang menarik diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya nenek moyang telah memiliki berbagai macam pengetahuan dan teknologi untuk menghilangkan rasa pahit. Sebagai contoh adalah penggunaan adsorban seperti tanah lempung untuk mengurangi rasa pahit masakan daun pepaya, penggunaan garam untuk mengurangi rasa pahit dari pare melalui inaktivasi enzim. Bahkan ada hal menarik pada pemberian jamu yang rasanya notabene pahit ini pada pemberian jamu anak-anak untuk meningkatkan nafsu makan dan atau menyembuhkan batuk pilek. Jamu ini berasa pahit, dan tidak ada upaya menutupinya, melainkan hanya upaya menetralisirnya melalui larutan manis yang diberikan sesudahnya.
Zat pahit telah lama dikenal dalam ilmu pengetahuan tentang zat kimia tanaman atau farmakognosi sejak lama. Bahkan di dunia barat dikenal pula zat pahit yaitu senyawa kimia dalam tumbuhan yang dapat mengaktifkan reseptor pahit (Behrens dkk, 2018). Reseptor ini tidak hanya berada di lidah tetapi juga pada bagian lainnya di saluran pencernaan bahkan di saluran pernafasan (Behrens dan Meyerhof, 2010). Ketika reseptor ini diaktifkan oleh zat pahit yang secara sengaja atau tidak sengaja dikonsumsi oleh seseorang mengaktifkan “alarm system” pada tubuh sebagai respon terhadap potensi bahaya dari zat. Hal tersebut merupakan bagian dari evolusi manusia untuk mendeteksi potensi senyawa toksik yang telanjur dikonsumsi, yang segera diantipasi oleh tubuh dengan mengaktifkan sistem perlindungan diri antara lain dengan menghasilkan enzim-enzim pencernaan termasuk lipase, pepsin, dll (Behrens dan Meyerhof, 2010; Avau dan Depoortere, 2015). Pada kondisi yang “over dosis” tubuh merespon dengan efek mual bahkan muntah sebagai upaya untuk mengeluarkan zat yang berpotensi bahaya tersebut Avau dan Depoortere, 2015). Jamu dan obat tradisional lainnya melalui kearifan lokal meramu komposisi bahan tumbuhan yang dapat meniru efek tersebut untuk aktivitasi sistem pertahanan tubuh (Behrens dkk, 2018).
Melihat definisi zat pahit, menunjukkan bahwa kategorisasi ini bukan disebabkan oleh kesamaan zat kimia, tetapi pada kesamaan efek farmakologis. Sebagaimana dikompilasi oleh Kunihara dkk (1994) terkait dengan reseptor senyawa pahit dengan berbagai mekanisme aktivitas yang tidak selalu terkait dengan penggolongan senyawa kimia khusus. Keluasan cakupan pengenalan senyawa kimia merupakan bagian dari upaya perlindungan tubuh terhadap toksin. Kearifan pengobatan tradisional memilihkan bahan alam dengan kandungan aktif yang dapat menstimulasi reseptor pahit dengan potensi ketoksikan yang rendah pada dosis yang digunakan (Behrens dkk, 2018). Itu pula antara lain sebab mengapa jamu atau obat tradisional lainnya umumnya menggunakan campuran beberapa bahan dalam komposisinya.
Dengan demikian, rasa pahit dalam Jamu atau obat herbal sebaiknya kita biasakan atau ditutupi dengan rasa lain misalnya dalam bentuk tablet salut atau perasa atau bahkan dihilangkan dengan penambahan adsorban atau fraksinasi? Sebelum menentukan langkah preformulasi maupun formulasi farmasetik, perlu dilihat terlebih dahulu, apakah memang rasa pahit tersebut merupakan bagian dari tujuan pengobatan tradisional atau tidak terkait dengan aktvitas yang diharapkan. Sensitifitas terhadap rasa pahit juga berbeda untuk setiap manusia yang tergantung pula dengan terbiasa atau tidaknya mengkonsumsi zat pahit. Hal ini membutuhkan pembiasaan dari dosis yang rendah terlebih dahulu, sehingga sebaiknya memang tidak dihilangkan sepenuhnya. Aktivitas menutupi rasa pahit di rongga mulut misalnya dengan penambahan tablet salut atau enkapsulasi kandungan zat pahit dapat dilakukan karena reseptor pahit tidak hanya terdapat di rongga mulut tetapi juga di saluran cerna, sehingga diharapkan aktivitas menutupi rasa pahit ini hanya terjadi di rongga mulut, tetapi dapat berefek kembali di rongga saluran pencernaan berikutnya. Hanya saja yang perlu diperhatikan terkait dengan dosis sebagaimana di sampaikan di atas, bahwa sensitivitas seseorang bersifat individu sejatinya dapat di”deteksi” oleh detektor di saluran pencernaan paling atas, yaitu di lidah dan dari indera penciuman sebagai bagian dari penyesuaian dosis yang sesuai.
Daftar bacaan:
Avau B. Depoortere I. 2015. The bitter truth about bitter taste receptors: Beyond sensing bitter in the oral cavity. Acta physiologica (Oxford, England). 216. 10.1111/apha.12621.
Behrens M, Gu M, Fan S, Huang C, Meyerhof W. 2018. Bitter substances from plants used in traditional Chinese medicine exert biased activation of human bitter taste receptors. Chem Biol Drug Des.Feb;91(2):422-433. doi: 10.1111/cbdd.13089. Epub 2017 Sep 14. PMID: 28834122.
Behrens M, Meyerhof W. 2010. Oral and extraoral bitter taste receptors. Results Probl Cell Differ. 52:87-99. doi: 10.1007/978-3-642-14426-4_8. PMID: 20865374.
Kurihara K, Katsuragi Y, Matsuoka I, Kashiwayanagi M, Kumazawa T, Shoji T. 1994. Receptor mechanisms of bitter substances, Physiology & Behavior, Volume 56, Issue 6, 1994, Pages 1125-1132, ISSN 0031-9384, https://doi.org/10.1016/0031-9384(94)90356-5.