Oleh :
Dr. Adhyatmika, M.Biotech., Apt.
Laboratorium Farmasi Fisik dan Biofarmasetika, Departemen Farmasetika
Adyatmika SETELAH kita memahami sedikit tentang apakah nanoteknologi itu utamanya di bidang farmasi, maka hal penting berikutnya yang harus kita tahu adalah, aman nggak, sih? Karena percuma kalau sebuah teknologi bisa sangat efektif menyelesaikan suatu masalah, tapi ternyata tidak aman pula bagi kesehatan. Prinsip pengobatan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, maka usaha untuk mencapai tujuan itu tentu tidak boleh bertolak belakang, misalnya dengan sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Food and Drug Administration (FDA), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)-nya Amerika, melalui laman website-nya menyampaikan bahwa aplikasi nanoteknologi mungkin menimbulkan karakter yang berbeda dengan bila obat itu diberikan secara konvensional. Maka dari itu, dalam melakukan studi keamanannya, fokus studi tidak boleh hanya pada zat aktifnya, namun juga berbagai faktor sifat unik nanoteknologi yang digunakan. Peningkatan efektifitas obat yang dicapai dari penerapan nanoteknologi bisa juga menyebabkan peningkatan toksisitas atau sifat racunnya, meski tidak selalu. Dalam rilis FDA tersebut, hanya menekankan bahwa studinya harus dilakukan secara komprehensif, tidak serta merta menunjukkan bahwa obat dengan teknologi nano lebih berbahaya.
Meskipun demikian, belum banyak produk berbasis nanoteknologi yang disetujui penggunaannya oleh BPOM. Kebanyakan produk masih sebatas produk non-obat, yaitu suplemen dan kosmetik. Wajar bagi BPOM untuk berhati-hati dalam hal ini, karena aspek keamanan nanoteknologi ini menyangkut berbagai aspek. Berbagai aspek ini akan coba kita bicarakan dalam segmen ini.
Pertama, adalah aspek ukuran, aspek yang menjadi fokus unik dari nanopartikel. Ukuran dispersi nanopartikel yang lebih kecil dari dispersi secara umum memungkinkan penetrasi obat yang lebih tinggi, utamanya bila diberikan secara oral, diminum melalui saluran cerna. Nanopartikel dapat terserap melalui usus dengan dua jalur, yaitu jalur melalui sel atau trans-seluler secara endositosis, dan jalur melalui sela-sela antar sel atau para-seluler. Tapi ingat, keunggulan ini adalah dibandingkan dengan dispersi dengan ukuran partikel yang lebih besar, bukan dibandingkan terhadap molekul. Padahal, kalau sudah tidak ada masalah dengan kelarutannya sehingga suatu obat dapat diberikan dalam keadaan terlarut atau dalam bentuk molekulnya, pada banyak kasus kita tidak perlu sampai mendesainnya jadi nanopartikel. Jadi, nanopartikel ini kebanyakan diformulasikan untuk obat-obat yang punya masalah biofarmasetik. Obat-obat ini kalau diberikan langsung, biasanya memang butuh sangat banyak. Tahu kurkumin? Senyawa yang banyak ditemukan di kunir/kunyit dan temulawak ini diketahui memiliki banyak sekali efek baik bagi tubuh, bahkan pada dosis kecil. Masalahnya, susah bikin kurkumin ini masuk ke dalam tubuh. Akibatnya, kalau kita minum kunir asem, ya harus banyak. Harus segelas, misalnya. Ini karena kurkumin akan lebih banyak yang terbuang atau rusak di dalam tubuh, jadi butuh sebanyak itu. Kalau kita formulasikan dengan nanopartikel, yang kita berikan tentu jauh lebih kecil, tidak lagi minum segelas. Jadi, secara perhitungan, tetap akan dilakukan penyesuaian dosis. Oleh karena itu, aspek toksisitasnya jadi tidak perlu dikhawatirkan.
Kedua, dari aspek material. Percaya atau tidak, aspek material ini justru lebih berpengaruh dari pada aspek ukurannya itu sendiri, utamanya dalam hal keamanan. Tanggapan tubuh pada nanopartikel pada dasarnya seperti kesukaan kita pada suatu makanan. Mana yang lebih menentukan kita suka atau tidak suka pada suatu makanan, jenis makanannya atau ukurannya? Tentu jenisnya lebih berpengaruh, kan? Begitu pula respon tubuh terhadap keamanan suatu desain/sistem nanopartikel. Bahan baku/materialnya lebih berpengaruh dibanding ukurannya itu sendiri. Pada seri pertama sudah kita ketahui beberapa material yang bisa digunakan. Seberapa amankah material-material itu di dalam tubuh kita? Pertimbangan pertama kita adalah, faktor biokompatibilitas tentu sudah menjadi asapek utama yang digunakan sebagai pertimbangan para peneliti dalam meneliti suatu material untuk digunakan. Jadi, secara umum setidaknya semua material yang digunakan adalah aman pada jumlah penggunaannya. Misalnya partikel emas, tentu tidak digunakan dalam jumlah besar. Namun emas ini memang inert, kok. Dia mahal kan karena tidak mempengaruhi lingkungan, pun tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi kalau disimpan dalam waktu lama juga tidak berkurang (dan tentu tidak bertambah). Di dalam tubuh pun begitu. Hanya saja, ada satu faktor yang saat ini banyak diteliti, yaitu faktor kumulatifnya. Maksudnya, emas kan sulit dirusak (makanya mahal). Di dalam tubuh pun begitu. Kita berikan memang dalam jumlah sangat kecil. Tapi kalau terus menerus, berulang, dan dalam jangka waktu lama, tentu akan menumpuk karena tidak mudah rusak. Oleh karena itu, penggunaan partikel emas ini harus mempertimbangkan hal tersebut.
Selain emas, yang banyak digunakan ada berbagai macam polimer alam. Sebut saja kitosan, alginat, dan pektin. Semua polimer alam ini pada dasarnya sangat aman karena sudah terkandung dalam berbagai bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti udang dan kepiting, rumput laut, hingga kulit buah-buahan seperti apel. Secara umum keamanan bahan-bahan ini sangat baik, Perbedaan dari tiap bahan hanyalah di muatannya, yang pada jumlah yang sangat besar mungkin akan menimbulkan efek biologis. Secara umum membran sel kita bermuatan negatif, dan segala sesuatu yang bermuatan terlalu positif akan dapat menimbulkan kerusakan sel. Tapi tentu ini hanya terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Permasalahan yang dihadapi peneliti biasanya adalah karena justru bahan-bahan ini aman, maka juga mudah dirusak oleh tubuh. Jadi stabilitas produknya kurang baik. Untuk ini, ada berbagai solusi yang dilakukan, namun akan kita bahas di kesempatan lain karena kurang relevan dengan aspek keamanannya. Secara umum, untuk polimer bermuatan positif akan lebih rentan mengalami metabolisme oleh hati, dan untuk yang bermuatan negatif lebih rentan untuk dibuang dari tubuh langsung melalui ginjal.
Terakhir, adalah material berbasis lemak. Nanopartikel berbasis lemak ini misalnya adalah nanoemulsi dan nanoliposom. Keamanannya? Wah ini aman sekali. Bayangkan saja, untuk nanoliposom, misalnya, bahan bakunya disebut fosfolipid. Apa itu fosfolipid? Fosfolipid adalah material penyusun membran sel kita sendiri. Makanya aman sekali. Namun sejalan dengan keamanan polimer, keamanan nanopartikel berbasis lemak ini diikuti oleh kelemahannya yaitu mudah sekali rusak oleh tubuh. Harus dilakukan modifikasi di permukaannya supaya dia bisa lebih stabil. Modifikasi ini misalnya menggunakan polietilen glikol (PEG). PEG ini pun sangat aman.
Kesimpulannya? Secara umum nanopartikel ini tetap sangat aman kok. Namun, tidak salah juga kalau BPOM berhati-hati. Artinya, sebagai peneliti, memang seharusnya memberikan data aktual yang selengkap-lengkapnya sehingga keputusan apapun yang mengizinkan suatu produk untuk dikonsumsi oleh pasien atau masyarakat, semuanya berbasis data. Biasanya BPOM akan lebih mudah mengizinkan bila sudah ada produk serupa sebelumnya yang lolos. Jadi yang perlu dilakukan adalah untuk mencoba memberikan breakthrough atau permulaan, produk yang berhasil lolos, maka yang selanjutnya bisa mengikuti kisah suksesnya dengan melakukan usaha yang serupa. Semakin banyak produk yang didaftarkan, akan semakin besar data keamanan yang diperoleh, maka semakin nyaman pula BPOM dalam memutuskan untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan suatu produk ini beredar.
Bagi kita masyarakat luas? Tidak perlu khawatir dengan inovasi baru. Pada dasarnya setiap inovasi membawa misi mulia untuk perbaikan. Bahkan pada banyak kasus, nanoteknologi dapat mengurangi efek toksik dari suatu obat. Misal obat yang punya resiko racun harus diberikan dalam julah besar karena absorpsi atau penyerapan dalam tubuhnya jelek, bisa diperbaiki dengan nanoteknologi sehingga dapat dikurangi dosis pemberiannya. Pastikan saja produk-produk kesehatan yang kita konsumsi berasal dari dokter, atau bila dapat dibeli sendiri, sudah mendapatkan izin edar dari BPOM. Mari dengan tenang menyambut era nanoteknologi!