Oleh : Triana Hertiani
Fakultas Farmasi UGM
Pemanfaatan herbal, merupakan gerakan kembali ke alam yang berangkat dari kesadaran untuk meminimalkan penggunaan bahan sintetis. Penggunaan istilah back to nature atau “Green Product” (Produk Hijau) seolah sekaligus menjadi solusi jangka panjang untuk problem lingkungan. Benarkah “produk hijau” ini identik dengan semangat “Go Green” atau aktivitas ramah lingkungan?
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dengan kembali ke alam mendorong peningkatan kebutuhan yang sangat besar untuk ekstrak bahan alam. Pemanfaatannya bukan hanya untuk obat herbal yang kita kenal sebagai Jamu, ekstrak herbal terstandar ataupun fitofarmaka saja, tetapi juga meliputi produk kesehatan lainnya seperti makanan fungsional, suplemen makanan, bahkan kosmetika. Diperkirakan pertumbuhan industry yang melibatkan bahan herbal mencapai 15-20% pertahun (Azmin dkk., 2013). Di sisi lain, terdapat juga peningkatan penggunaan bahan tambahan makanan dari bahan alam yang antara lain meliputi fungsi pengawet, antioksidan, pewarna, penyedap rasa, dan aroma (Carreira-Casais, 2021)
Hal ini mengakibatkan potensi eksploitasi bahan alam yang sangat besar, baik itu dari penyediaan bahan mentah, bahan tambahan, maupun penggunaan pelarut untuk ekstraksi. Produk-produk berbasis bahan alam tersebut memanfaatkan baik tumbuhan, hewan maupun mineral, yang beberapa diantaranya dibudidayakan, tetapi tidak sedikit pula yang diambil langsung dari habitatnya (liar). Eksploitasi secara masif tanpa desain jangka panjang yang berkelanjutan, sangat potensial mendatangkan problem lingkungan di masa depan.
Hal lain yang lebih lanjut membutuhkan perhatian adalah pada proses produksi ekstrak. Ekstrak diperoleh melalui tahapan ekstraksi yaitu suatu proses pemisahan yang dilakukan untuk mendapatkan komponen tertentu yang dikehendaki dari bahan awal. Pemilihan metode, pelarut dan tahapan proses yang digunakan akan sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Komposisi senyawa kimia dari tumbuhan (fitokimia) adalah esensial untuk penentuan kualitas produk herbal, karena menentukan keamanan dan efektivitasnya. Profil tersebut sangat dipengaruhi oleh proses produksi mulai dari penyiapan dan pengolahan bahan baku hingga produk akhir.
Ditinjau dari proses ekstraksi khususnya pada skala industry, energy yang dipergunakan sangat besar yang tidak hanya meliputi keseluruhan proses produksi ekstrak sampai dengan menjadi produk komersial, tetapi juga mencakup pengolahan limbah yang dihasilkan. Kita mungkin sudah familiar dengan istilah “Green Chemistry” atau “Kimia Hijau”, yang dapat didefinisikan sebagai suatu invensi, desain dan aplikasi dari produk kimia dan prosesnya untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan berbahaya. Istilah ini kemudian penerapannya merambah pada bahan alam dan dikenal sebagai “Green Extraction” atau “Ekstraksi Hijau”.
Ekstraksi hijau didefinisikan sebagai penemuan dan desain proses ekstraksi yang menekankan pada pengurangan konsumsi energi, memungkinkan penggunaan pelarut alternatif dan bahan alam yang dapat diperbaharui, dan menjamin produk ekstrak yang aman dan berkualitas tinggi Pendekatan yang dapat diterapkan pada skala laboratorium mapun industri diutamakan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan proses dan peralatan yang sudah ada dengan melakukan inovasi pada proses dan prosedur serta penggunaan pelarut alternatif (Chemat dkk, 2012).
Chemat et al (2012) memperkenalkan “Enam Prinsip Ekstraksi Hijau untuk Produk Alam” yang meliputi inovasi pada keseluruhan aspek ekstraksi, sebagai berikut: inovasi melalui seleksi jenis dan penggunaan bahan awal yang dapat diperbaharui; penggunaan pelarut alternatif yang berbasis air atau pelarut-berbasis tumbuhan; mengurangi konsumsi energy melalui inovasi teknologi proses dan perolehan kembali; produksi samping untuk pemanfaatan limbah; mengurangi unit pelaksana serta proses yang terkontrol, aman dan robust; atau produk hasil ekstraksi (baik itu produk utama, by product maupun co-product) yang stabil dan biodegradable, tanpa kontaminan.
Pasokan bahan baku yang berasal dari bahan liar maupun mengandalkan budidaya konvensional sangat beresiko untuk keberlanjutan produksi, ditinjau dari jaminan harga, kualitas dan pasokan kebutuhan pasar. Produksi bahan yang tergantung musim, menyebabkan pasokan yang fluktuatif dan membutuhkan gudang penyimpanan yang lebih besar. Terlebih lagi fakta bahwa kualitas bahan baku herbal sangat dipengaruhi antara lain oleh varietas tanaman, tempat tumbuh, pupuk, usia dan cara panen serta pengolahan pasca panennya. Inovasi dilakukan antara lain pada intensifikasi kultivasi, maupun produksi melalui sel tumbuhan secara in vitro. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah metode “plant milking” untuk produksi paclitaxel (Taxol®) yang merupakan obat anti kanker. Senyawa obat ini proses sintesisnya sulit dan ektraksi dari bahan alam berdampak buruk bagi lingkungan karena diambil dari kulit batang pohon yang dapat menyebabkan kepunahan. Kultivasi tanaman Taxus brevifolia dilakukan di green house dalam media cair dengan stimulasi secara fisik, kimia maupun biologis untuk meningkatkan produksi senyawa paclitaxel di akar, yang memudahkan untuk dikoleksi dan diekstraksi dari akar dengan waktu yang lebih cepat dan efisien (Chemat dkk., 2012).
Etanol merupakan pelarut organik yang paling banyak dipakai di industri, dan merupakan hasil fermentasi dari bahan tumbuhan kaya gula seperti tebu, umbi bit dan lain-lain. Pelarut ini relatif mudah diuapkan, sekaligus diperoleh kembali. Selain itu, gliserol yang merupakan produk sampingan pada proses trans-esterifikasi dari minyak nabati juga lazim digunakan dalam industri kosmetik sebagai pelarut untuk ekstraksi bahan alam (Chemat dkk., 2012). Air merupakan pelarut yang ramah lingkungan, tetapi prosesnya memerlukan energi yang relatif lebih besar dibandingkan etanol, antara lain untuk lama ekstraksi dan proses penguapan, selain permasalahan terkait stabilitas ekstrak yang dihasilkan.
Penggunaan metode ekstraksi yang lebih efektif dan efisien dengan bantuan teknologi ultrasonik ataupun gelombang microwave dapat meningkatkan efektivitas ekstraksi sekaligus lebih efisien dari jumlah solven dan waktu yang dibutuhkan. Untuk mengefisienkan unit operasional dalam ekstraksi penggunaan cairan superkritis seperti CO2 merupakan pilihan yang ramah lingkungan sekaligus juga efektif dan efisien karena keseluruhan proses ekstraksi hingga perolehan kembali terjadi dalam satu proses. Terlepas dari keunggulannya dibandingkan metode konvensional, metode tersebut memerlukan investasi yang sangat besar di awal karena memerlukan sarana dan prasarana khusus (Chemat dkk., 2012; Azmin dkk., 2016; Carreira-Casais dkk., 2021).
Salah satu alternatif untuk meningkatkan intensifikasi proses ekstraksi yang dapat memanfaatkan peralatan yang ada dari produksi dengan metode konvensional adalah penggunaan pelarut hidrotrop. Hidrotrop adalah garam organik yang bersifat ampifilik, tetapi berbeda dengan surfaktan, bagian hidrofiliknya lebih panjang dari bagian hidrofobik. Penggunaan pelarut ini relative mudah dipisahkan dari ekstrak dengan melakukan modifikasi pH maupun polaritas, berbasis air, dan dapat didaur-ulang (Nagarajan dkk., 2016). Walaupun penelitian yang sudah dilakukan masih terbatas, tetapi potensi penerapan pelarut ini di industry sangat besar sebagai alternatif teknik ekstraksi hijau di industri herbal (Purnama, 2022)
Sudah saatnya pelaku industri terkait ekstrak bahan alam menerapkan prinsip ekstraksi hijau melalui inovasi-inovasi produksi berkelanjutan. Penelitian-penelitian terkait bahan alam seyogyanya diarahkan untuk mendukung inovasi-inovasi tersebut. Kerjasama multidisiplin dan lintas sektoral sangat diperlukan dalam penerapannya secara luas.
Gambar: Kurnia Rahayu Purnama Sari
Daftar Pustaka
Azmin, S.N.H.M., Manan, Z.A., Alwi, S.R.W, Chua, L.S., Mustaffa, A.A., and Yunus, N.A. 2016. Herbal Processing and Extraction Technologies, Separation & Purifification Reviews, 45: 305–320, 2016
Carreira-Casais, A., Lourenço-Lopes, C., Otero, P., Carpena, M., Pereira, A.G., Echave, J., Soria-Lopez, A., Chamorro, F., Prieto, M.A., and Simal-Gandara, J. Application of Green Extraction Techniques for Natural Additives Production in Lage, M.A.A. P and Otero, P. (Eds.) 2021. Food Additives, InTech Open, https://www.intechopen.com/online-first/78721 diakses 28 Juni 2022.
Chemat, F., Vian, M.A., and Cravott0, G. 2012. Green Extraction of Natural Products: Concept and PrinciplesInt. J. Mol. Sci. 2012, 13, 8615-8627; doi:10.3390/ijms13078615
Nagarajan, J., Heng, W. W., Galanakis, C. M., Ramanan, R. N., Raghunandan, M. E., Sun, J., Ismail, A., Beng-Ti, T., & Prasad, K. N., 2016, Extraction of phytochemicals using hydrotropic solvents, Separation Science and Technology, 51:7, 1151-1165. https://doi.org/10.1080/01496395.2016.1143842
Purnama, H. 2022. Potensi Pemanfaatan Metode Hidrotropik Sebagai Alternatif Ekstraksi Senyawa Fitokimia. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada