Kebutuhan akan tanaman obat sebagai bahan baku obat tradisional saat ini semakin meningkat. Tanaman obat yang dimaksud adalah jenis tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat sehingga mampu digunakan untuk menyembuhkan ataupun mencegah berbagai penyakit. Peningkatan kebutuhan tanaman obat diakibatkan meningkatnya permintaan pasar akibat ketertarikan masyarakat terhadap obat tradisional semakin tinggi. Masyarakat lebih tertarik menggunakan obat tradisional karena dipengaruhi anggapan bahwa produk bahan alam ‘lebih aman’ daripada obat pada umumnya.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penggunaan tanaman obat dimungkinkan tidak lagi dengan mengonsumsi bentuk asli dari tanaman tersebut (langsung dalam bentuk daun kering, akar, atau umbi). Hal ini dikarenakan proses konsumsinya menjadi tidak efisien dan masih banyaknya senyawa yang tidak diperlukan atau bahkan tidak berkhasiat dalam tanaman tersebut. Adanya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan tersebut dapat mengurangi khasiat dari tanaman tersebut, sehingga manfaat yang diperoleh kurang optimal. Oleh karenanya, untuk mengoptimalkan manfaat dari tanaman tersebut, dilakukan proses ekstraksi, fraksinasi, dan isolasi dari tanaman obat untuk memperoleh senyawa yang dituju manfaatnya.
Proses ekstraksi, fraksinasi, dan isolasi senyawa dari tanaman obat menggunakan metode dan bahan-bahan yang disesuaikan dengan sifat senyawa berkhasiat yang diduga terdapat dalam tanaman tersebut. Hal ini bertujuan agar senyawa berkhasiat yang diperoleh tetap utuh dan tidak rusak, sehingga kadar senyawa tersebut dihasilkan dalam jumlah yang tinggi. Bahan yang biasa digunakan untuk proses ekstraksi, fraksinasi, dan isolasi adalah alkohol 70%, metanol, dan kloroform.
Salah satu tanaman di Indonesia yang sudah digunakan turun temurun sebagai obat tradisional adalah tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus). Tanaman ini dipercaya oleh masyarakat sebagai obat untuk memperlancar keluarnya air seni pada gangguan tanpa penyebab yang jelas, obat batu ginjal, tekanan darah tinggi, encok, dan kencing manis. Bagian dari tanaman kumis kucing yang biasa digunakan oleh masyarakat yaitu bagian daun yang sudah dikeringkan. Daun yang sudah kering kemudian direbus, dan air rebusan daun tersebut kemudian diminum.
Proses pembudidayaan tanaman kumis kucing dapat dilakukan dengan menggunakan biji atau dengan stek batang/cabang. Tempat budidaya tanaman kumis kucing di Indonesia banyak ditemui di pulau Jawa. Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi, dengan ketinggian daerah penanaman yaitu berkisar 500-1.200 dpl. Tanaman ini mudah tumbuh di lahan-lahan pertanian dengan sistem pengairan yang baik, gembur dan kaya akan humus, terpapar sinar matahari langsung dengan suhu lingkungan pada kisaran panas hingga sedang.. Bagian dari tanaman kumis kucing yang dipanen adalah bagian daun. Pemanenan pertama tanaman kumis kucing dilakukan setelah 1-2 bulan masa tanam, sedangkan proses pemanenan berikutnya dilakukan setiap 0,5-1 bulan sekali. Masa panen yang tepat ditandai pada saat tanaman mulai tumbuh bunga tetapi bunga belum tumbuh sempurna. Sebelum dilakukan pemanenan, bunga dapat dipangkas terlebih dahulu supaya daun kumis kucing pada panen berikutnya dapat meningkat. Proses pemanenan dari tanaman kumis kucing dilakukan hingga tanaman berumur 3-5 bulan dari masa tanam. Perlu dingat bahwa tempat tumbuh, iklim, dan kondisi panen dari tanaman kumis kucing mempengaruhi kandungan senyawa berkhasiat dari tanaman ini.
Telah banyak dilakukan penelitian untuk membuktikan khasiat dari tanaman kumis kucing. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tanaman kumis kucing memiliki khasiat menurunkan tekanan darah, mampu meningkatkan pengeluaran air seni, penurun asam urat, pelindung ginjal, antioksidan, antidiabetes, antibakteri, dan antikanker. Khasiat tanaman ini tak lepas dari kandungan senyawa kimia dalam tanaman kumis kucing. Senyawa kimia dalam tanaman kumis kucing yang sudah diketahui hingga saat ini antara lain flavonoid, turunan kafein, terpenoid. karbohidrat, steroid, dan glikosida. Diantara golongan senyawa-senyawa tersebut terdapat golongan senyawa yang terkenal banyak terkandung dalam tanaman ini yaitu golongan flavonoid (sinensetin, salvigenin, dan eupatorin) dan turunan asam kafein (asam kafein dan asam rosmarinat).
Bentuk asli dari tanaman kumis kucing telah diketahui memiliki khasiat. Terbukti dari air rebusan daun kering kumis kucing telah digunakan turun temurun sebagai obat batu ginjal, tekanan darah tinggi, dan kencing manis (diabetes). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan senyawa kimia dalam tanaman kumis kucing yang memiliki aktivitas sebagai obat batu ginjal, tekanan darah tinggi, dan kencing manis (diabetes). Untuk mengetahui senyawa yang berperan sebagai obat tersebut dan meningkatkan manfaat serta kemudahan dalam menggunakan tanaman kumis kucing sebagai obat tradisional, dilakukan ekstraksi, fraksinasi, dan isolasi senyawa berkhasiat dari tanaman ini. Ekstrak, fraksi, dan isolat kemudian diuji khasiatnya dengan menggunakan sel dan hewan penelitian.
Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa daun kumis kucing yang di ekstrak menggunakan air, alkohol 70%, dan metanol-air memiliki khasiat meningkatkan pengeluaran air seni, menurunkan tekanan darah, dan antioksidan. Untuk lebih meningkatkan manfaat dari daun kumis kucing dilakukan fraksinasi dari ekstrak daun kumis kucing menggunakan n-heksan, kloroform, atau etil-asetat. Proses fraksinasi dapat menghilangkan senyawa-senyawa tidak bermanfaat yang terdapat dalam daun kumis kucing, seperti klorofil. Daun kumis kucing yang difraksinasi menggunakan n-heksan menunjukkan khasiat sebagai obat penurun tekanan darah, karena terbukti mampu menurunkan tekanan darah hewan penelitian yang memiliki kondisi hipertensi. Selain itu, bentuk fraksi dari ekstrak kloroform daun kumis kucing juga terbukti mampu menurunkan kadar gula darah pada tikus yang mengalami diabetes. Setelah diketahui manfaat dari ekstrak dan fraksi, dilakukan proses isolasi untuk mengambil salah satu senyawa berkhasiat yang ada pada daun kumis kucing, salah satunya adalah sinensetin. Pemberian sinensetin hasil isolasi dari daun kumis kucing, terbukti mampu memiliki khasiat memperlancar pengeluaran air seni. Proses isolasi senyawa berkhasiat dari daun kumis kucing masih perlu dilakukan dikaji lebih lanjut karena proses isolasi membutuhkan teknik yang tidak sederhana dan membutuhkan biaya pembuatan yang cukup banyak.
Saat ini permintaan pasar terhadap tanaman obat mengalami peningkatan akibat pola konsumsi masyarakat terhadap obat tradisional juga meningkat, salah satunya adalah tanaman kumis kucing. Berdasarakan penjabaran di atas, mudahnya proses pembudidayaan tanaman kumis kucing dapat menjamin ketersediaan tanaman ini sebagai bahan baku obat tradisional yang kaya akan khasiat. Oleh karenanya tanaman kumis kucing penting untuk terus dibudidayakan dan dikembangkan sebagai tanaman obat, sehingga dapat diperoleh produk obat tradisional dengan kualitas yang baik dan juga mampu memenuhi kebutuhan pasar akan tanaman obat.
Oleh : Laras Dewi, Nanang Fakhrudin, Arief Nurrochmad Fakultas Farmasi UGM
Daftar Pustaka
Adam Y., Somchit, M. N., Sulaiman, M.R., Nasaruddin, A. A., dan Zuraini, A., 2009, Diuretic Properties of Orthosiphon Stamineus Benth., Journal of Ethnopharmacology, 124 (2009), 154-158.
Adnyana, I.K., Setiawan, F. & Insanu, M., 2013, From Ethnopharmacology to Clinical Study of Orthosiphon stamineus Benth., International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research, Vol 5, 66-73.
Akowuah, G. A., Ismail, Z., Norhayati, I., Sadikun, A., 2004, The Effects of Different Extraction Solvents of Varying Polarities on Polyphenols of Orthosiphon stamineus and Evaluation of The Free Radical-Scavenging Activity, Food Chemistry, 93 (2005), 311-317.
Ameer, O. Z., Salma, I. M., Asmawi, M. Z., Ibraheem, Z. O., and Yam, M. F., 2012, Orthosiphon stamineus: Traditional Uses, Phytochemistry, Pharmacology, and Toxicology, Journal of Medicinal Food, Vol 15 (8), 678-690.
Anonim, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Edisi 1, 68-72, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Azizan, N.A., Ahmad, R., Mohamed, K., Ahmad, M.Z. & Asmawi, Z., 2012, The in vivo Antihypertensive Effects of Standardized Methanol Extracts of Orthosiphon stamineus on Spontaneus Hypertensive Rats: A Preliminary Study, African Journal of Pharmacy and Pharmacology, Vol. 6(6), 376-379.
Dinas Pertanian DIY, 2001, Budidaya Tanaman Kumis Kucing, http://distan.jogjaprov.go.id/wp-content/download/tanaman_obat/kumis_kucing.pdf, diakses pada tanggal 6 Agustus 2018.
Manshor, N.M., Dewa, A., Asmawi, M.Z., Ismail, Z., Razali, N. & Hassan, Z., 2013, Vascular Reactivity Concerning Orthosiphon stamineus Benth- Mediated Antihypertensive in Aortic Rings of Spontaneously Hypertensive Rats, International Journal of Vascular Medicine, Vol. 2013, 1-6.
Nurul H. L., 2016, Analisis Tanaman Obat yang Menjadi Prioritas untuk Dikembangkan di Jawa Tengah, SEPA, 13 (1), 90-97.
Pramono, S., 2002, Kontribusi Bahan Obat Alam dalam Mengatasi Krisis Bahan Obat di Indonesia, Jurnal Bahan Alam Indonesia, 1 (1), 18-20.
Schut, G. A. and Zwaving, J. H., 1993, Fitoterapia 64, 99-102, cit Hosssain, M. A., and Rahman, S. M. M., 2011, Isolation and characterisation of flavonoids from the leaves of medicinal plant Orthosiphon stamineus, Arabian Journal of Chemistry, 8, 218–221.
Sudarsono P.A. & Gunawan, D., 1996, Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-Sifat dan Penggunaan, 90-96, Pusat Penelitian Obat Tradisional, UGM, Yogyakarta.