Hidup sehat selalu menjadi dambaan bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi mereka yang telah berusia lanjut. Tidak dapat dipungkiri bahwa penuaan akan berdampak pada penurunan fungsi dari berbagai organ penting dalam tubuh manusia dan menjadi cikal bakal dari munculnya berbagai gangguan kesehatan pada lansia, salah satunya adalah gangguan fungsi otak. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa otak merupakan bagian terpenting dari manusia yang berperan sebagai pusat pengaturan berbagai fungsi tubuh, terutama dalam hal berpikir, mengingat dan mengkoordinasikan anggota tubuh. Menurut data yang diperoleh, diketahui bahwa gangguan fungsi otak banyak menyerang para lansia, yakni sebanyak 3% terjadi pada usia 65-75 tahun dan akan meningkat hingga 25% pada usia di atas 85 tahun. Menurut data proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistika (BPS) telah diketahui, bahwa pada tahun 2017 sekitar 23,66 juta jiwa dari total keseluruhan penduduk Indonesia berusia lanjut dan angka ini diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya, hingga mencapai 48,19 juta di tahun 2035, dimana jumlah tertinggi berada di provinsi D.I. Yogyakarta, yakni sebesar 13,18% dari total keseluruhan lansia di Indonesia. Sehingga secara tidak langsung dapat memberikan gambaran bahwa resiko terjadinya penyakit ini di Indonesia, terutama di wilayah D.I. Yogyakarta cukup tinggi.
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya disabilitas permanen yang berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita, baik secara individual maupun sosial. Hal ini tentunya akan menjadi beban ekonomi bagi keluarga dan sistem asuransi kesehatan, akibat tingginya biaya pengobatan dan rehabilitasi yang dibutuhkan. Selain itu, terbatasnya pilihan agen terapi serta tingginya resiko terjadinya efek samping dalam penggunaan obat-obatan kimia dalam jangka waktu yang lama, terutama penggunaan pada lansia. Hal ini menjadi dasar bagi para ilmuwan untuk menemukan suatu obat baru yang tidak hanya efektif, namun juga memiliki tingkat keamanan yang tinggi sebagai solusi dalam permasalahan di atas, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagai negara tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia menyimpan banyak tumbuhan yang berpotensi sebagai obat, salah satu tumbuhan yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia sejak dahulu adalah Secang. Secang merupakan tumbuhan berkayu yang banyak tumbuh di daerah D.I. Yogyakarta dan sekitarnya. Bagian kayu dari tumbuhan ini akan menghasilkan warna merah saat diseduh, sehingga sering digunakan oleh masyarakat setempat sebagai pewarna alami dalam pengolahan berbagai jenis makanan, minuman ataupun kosmetik. Kayu Secang juga sudah lama menjadi salah satu bahan dalam pembuatan Wedang Uwuh, yakni minuman tradisional khas Yogyakarta dan sekitarnya yang banyak diseduh masyarakat sekedar untuk menghangatkan badan saat cuaca dingin.
Tidak sekedar memberi warna merah, ternyata Kayu Secang sendiri telah lama digunakan sebagai bahan ramuan untuk mengobati penyakit sifilis, demam berdarah, batuk berdarah dan radang oleh masyarakat. Berangkat dari berbagai pengalaman empiris di masyarakat, penelitian ilmiah pun telah banyak dilakukan guna membuktikan khasiat dari penggunaan tumbuhan ini dalam mengobati berbagai masalah kesehatan di masyarakat. Berdasarkan rangkuman kumpulan artikel yang dimuat dalam Asian Pacific Journal of Tropical Medicine oleh Nirmal dkk. (2015) disebutkan bahwa Kayu Secang berpotensi sebagai antioksidan, antijamur, antijerawat, antikuman, antiradang, penurun gula darah, pelebar pembuluh darah, pencegah kerusakan hati hingga antikanker. Selain beberapa potensi khasiat tersebut, ditemukan fakta menarik yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Temkitthawon dkk. (2008) dan dipublikasikan pada Journal of Etnopharmacology, bahwa Kayu Secang juga memiliki aktivitas yang baik dalam menghambat phosphodiesterase, suatu enzim yang akhir-akhir ini menjadi target baru yang sangat potensial untuk mengobati gangguan fungsi otak, seperti pada penyakit pikun, kejang-kejang dan penanganan setelah terjadinya serangan stroke.
Mengingat kembali suatu teori yang pernah berkembang di masyarakat, yang dikemukakan oleh seorang ahli susunan saraf asal Spanyol, dimana ia menyatakan bahwa sistem saraf pusat manusia dewasa merupakan sesuatu yang bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki kembali saat terjadi kerusakan. Namun, teori tersebut telah gugur oleh suatu penelitian yang dilakukan pada hewan coba dan manusia dewasa. Penelitian tersebut menyatakan bahwa epidermal growth factor, suatu zat pemicu pertumbuhan yang diberikan pada sel saraf yang telah mati dan rusak akan memicu pertumbuhan sel saraf yang baru dan mampu berfungsi sebagaimana sediakala, sehingga memunculkan suatu fakta ilmiah terbaru bahwa kerusakan sistem saraf pusat manusia tidak bersifat permanen dan dapat diperbaiki. Salah satunya adalah melalui penghambatan terhadap phosphodiesterase, sebagaimana yang telah dimuat dalam suatu artikel ilmiah oleh Kumar dkk. (2015). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa penghambatan terhadap enzim phosphodiesterase akan meningkatkan produksi beberapa protein tubuh yang diperlukan untuk memicu proses pertumbuhan dan perkembangan sel saraf di otak sebagai solusi untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi otak yang sebelumnya menurun atau bahkan hilang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa Kayu Secang yang merupakan salah satu warisan nenek moyang bangsa Indonesia memiliki potensi untuk dapat dijadikan sebagai kandidat bahan baku dalam pembuatan suatu produk herbal yang dapat berkhasiat sebagai peningkat fungsi otak yang efektif dan aman guna meningkatkan kualitas kehidupan bangsa Indonesia menuju Indonesia makmur, sehat dan sejahtera serta tidak pula menutup kemungkinan untuk meningkatkan daya saing bangsa sebagai eksportir produk kesehatan global di dunia. Bagaimanapun penelitian yang lebih intensif masih diperlukan untuk memastikan khasiat secang dalam meningkatkan fungsi otak manusia.
Oleh : Helmi, Nanang Fakhrudin, Zulies Ikawati Fakultas Farmasi UGM
Daftar Pustaka
Kumar, A., Sharma, V., Singh, V.P., Kaundal, M., Gupta, M.K., Bariwal, J., dkk., 2015. Herbs to Curb Cyclic Nucleotide Phosphodiesterase and Their Potential Role in Alzheimer’s Disease. Mechanisms of Ageing and Development, 149: 75–87.
Nirmal, N.P., Rajput, M.S., Prasad, R.G.S.V., dan Ahmad, M., 2015. Brazilin from Caesalpinia sappan Heartwood and its Pharmacological Activities: A Review. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 8: 421–430.
Temkitthawon, P., Viyoch, J., Limpeanchob, N., Pongamornkul, W., Sirikul, C., Kumpila, A., dkk., 2008. Screening for Phosphodiesterase Inhibitory Activity of Thai Medicinal Plants. Journal of Ethnopharmacology, 119: 214–217.