Antivirus: Sebuah penjelasan singkat, dan potensi dari tanaman obat
Oleh: Puguh Indrasetiawan
Terpikir tidak, bagaimana sebuah obat antivirus bekerja?
Atau, ada berapa jenis antivirus sih yang ada di pasaran saat ini?
By the way, ini bukan antivirus untuk komputer kita, ya. Karena bila kita mengetik “antivirus” di dalam kolom pencarian di internet, yang kita temukan di halaman-halaman utama pencarian malah yang berhubungan dengan komputer. Sayang sekali.
Mari kita kembali ke antivirus sebagai obat, ya. Pada dasarnya, antivirus beraksi di saat virus sudah berada di dalam tubuh kita. Oleh karena itu, antivirus pada dasarnya adalah sesuatu yang didesain untuk memperlambat atau bahkan menghentikan penyebaran virus di dalam tubuh kita. Antivirus dapat bekerja untuk mencegah virus memasuki sel target di dalam tubuh, atau menghentikan satu/beberapa fase dari daur hidup virus di dalam tubuh.
Sebelum kita beranjak menuju ke terapi dengan antivirus, ada baiknya kita juga perlu memahami secara umum daur hidup virus pada umumnya yang terbagi menjadi:
- Fase “menemukan pintu masuk yang tepat” (menempelnya virus ke sel target).
- Fase “memasuki pintu dengan kunci yang sesuai” (penetrasi ke dalam sel target).
- Fase “penyerahan cetak biru” (pelepasan materi genetik virus ke dalam sel target –uncoating)
- Fase “penggandaanmateri” (pencetakan komponen-komponen penyusun virus di dalam sel target)
- Fase “perakitan” (penyusunan komponen-komponen menjadi bentukan virus yang utuh).
- Fase “keluar dan mencari mangsa lainnya” (komponen virus dan virion -virus yang infeksius- keluar dari sel target dan mencari sel target baru untuk digunakan sebagai pabrik pembuat virus yang lainnya).
Dari daur hidup virus di atas, kesemua fase (1-6) merupakan target empuk dalam desain antivirus yang optimal.
Tetapi..
Meskipun empuk, merancang sebuah antivirus yang dapat secara penuh menghilangkan virus di dalam tubuh sangatlah sulit, kalau tidak bisa dibilang nyaris mustahil. Pada umumnya, virus sangat pilih-pilih mengenai jenis sel dan pintu masuknya. Virus, meskipun tidak bisa secara gamblang dianggap sebagai makhluk hidup, juga dapat bersembunyi dari patroli sistem imun tubuh kita, dan kalau perlu melakukan upgrade sehingga kebal terhadap pengobatan antivirus tertentu!
Gawat juga kan?
Oleh karena itu sebagian besar fungsi dari obat-obatan tipe ini adalah selama mungkin dan dengan optimal menghambat kecepatan reproduksi virus patogen, bukan menghilangkan secara penuh keberadaan virus patogen di dalam tubuh. Dan karena itulah, sebagian besar obat antivirus harus dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama, bahkan seumur hidup.
Kok begitu?
Karena umumnya cetak biru dari virus akan terus berada di dalam tubuh kita. Di bawah pengaruh antivirus yang tepat, keberadaan suatu virus patogen target dapat dikontrol. Namun, bila terapi antivirus dihentikan maka tidak ada yang dapat menakuti lagi cetak biru milik virus ini. Bebas dari rasa takut, cetak biru virus dapat segera memulai proses perbanyakannya kembali. Oleh karena itu sangatlah penting untuk terus memantau jumlah virus patogen di dalam tubuh saat melakukan terapi antivirus.
Terapi antivirus dapat dibagi menjadi dua menurut target operasinya, yaitu:
- Penarget virus secara langsung
- Penarget virus secara tidak langsung
Pada poin 1, kita dapat membagi lagi menjadi beberapa jenis target, yaitu:
- Penghambatan melekatnya virus ke sel target (attachment inhibitors).
- Penghambatan masuknya virus ke dalam sel target (entry inhibitors).
- Penghambatan proses uncoatingmateri genetik di dalam sel target (uncoating inhibitors).
- Penghambatan aktivitas enzim protease (protease inhibitors).
- Penghambatan aktivitas enzim polimerase (polymerase inhibitors).
- Penghambatan aktivitas enzim reverse transcriptasenuklesosida dan nukleotida (nucleoside and nucleotide reverse transcriptase inhibitors -NRTI & NtRTI).
- Penghambatan aktivitas enzim reverse transcriptase nonnukleosida (nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors -NNRTI).
- Penghambatan aktivitas enzim integrase (integrase inhibitors).
Di antara poin a-h, bisa kita lihat bahwa lima dari delapan tipe tersebut adalah penghambat aktivitas suatu enzim tertentu. Mengapa begitu? Penulis pikir itu ada hubungannya dengan hidup virus yang sangat tergantung kepada aktivitas enzim, baik milik sel inang maupun miliknya, dalam rangka memuluskan jalan untuk memperbanyak dirinya. Dengan terhambatnya akses terhadap enzim yang dibutuhkan, mandeklah aktivitas manufaktur sang virus, dan berhasillah tujuan terapi yang diharapkan. Beberapa obat antivirus yang terdaftar memiliki target virus lebih dari satu karena beberapa virus patogen memiliki ketergantungan terhadap enzim yang sama.
Dengan semakin dalamnya pengetahuan mengenai daur hidup dan aktivitas dari virus target, maka akan semakin maju juga pengetahuan mengenai desain obat antivirus yang optimal. Deteksi dini dan optimalisasi pengobatan dapat membantu menurunkan tingkat infeksi dari virus di dalam tubuh pasien. Saat ini nyaris tidak ada antivirus yang secara penuh dapat menghapus eksistensi virus target di dalam tubuh. Oleh karena itu, marilah kita selalu hidup sehat secara fisik dan mental.
**
Setelah berpanjang lebar mengenai daur hidup virus, target dan cara kerja antivirus, maka saatnya kita tiba di bahasan terakhir: bagaimanakah peran tanaman obat terhadap perkembangan antivirus?
Seperti yang tertulis di atas, merancang antivirus yang efektif tidaklah mudah. Antivirus harus memiliki target yang sangat spesifik bila akan diberikan ke pasien dan umumnya antivirus terdaftar adalah komponen tunggal yang memiliki aksi spesifik. Penelitian dan publikasi yang dilakukan terhadap potensi tanaman obat dan komponennya sebagai agen antivirus ini sebenarnya sudah dilakukan, baik secara in silico, in vitro, dan/atau in vivo. Sebagian (kecil) di antaranya adalah:
- Ruta angustifoliaatau nama lokalnya Inggu; Enam komponen (chalepin, scopoletin, γ-fagarin, arborinine, kokusaginine dan pseudane IX) didapat dari daun tanaman ini. Chalepin dan pseudane IX menunjukkan aktivitas anti-HCV (hepatitis C virus) in vitro. Lebih jauh lagi, kedua komponen tersebut dilaporkan beraksi pada tahap post-entry, menurunkan tingkat replikasi RNA HCV dan menurunkan sintesis protein dari virus tersebut.
- Beberapa polisakarida asam yang berasal dari berbagai ganggang laut dilaporkan memiliki potensi aktivitas anti-HIV dan anti-HBV in vitro (Ascophyllum nodosumdan Fucus vesiculosus). Ascophyllan, A-fucoidan dan S-fuciodan menunjukkan kemampuannya dengan menghambat tahap awal infeksi HIV dan HBV.
- Myristica fatua (Pala Wegio), Cymbopogon citratus (Sereh), dan Acorus calamus (Jeringau). Ekstrak metanolik dari ketiga tanaman yang tumbuh di Indonesia ini diuji aktivitas anti-dengue-nya secara in vitro dan in silico. Ketiganya menunjukkan aktivitas yang menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agen anti-dengue ke depannya.
Dan masih banyak lagi yang lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Sejauh pengetahuan penulis, semoga salah ya, belum ada obat antivirus terdaftar dan ampuh yang murni berasal dari pengembangan tanaman obat. Sebagai contoh, obat antivirus Sofosbufir, yang sangat ampuh dan bisa menyembuhkan penyakit Hepatitis C, tidak berasal dari proses derivasi senyawa bahan alam (murni senyawa sintetik).
Kita ketahui dengan baik bahwa ekstrak tanaman obat masih mengandung banyak sekali komponen. Bisa-bisa pusing kepala kita saat menelaah; Mana yang benar-benar berefek antivirus dan mana yang tidak berkontribusi? (bahkan berefek kontradiktif dengan yang diharapkan!). Nah, oleh karena itu, menyaring satu komponen aktif tunggal dan membawanya sampai ranah uji klinik tahap akhir membutuhkan proses yang panjang dan berliku, serta pendanaan yang tinggi. Jadi cukuplah sampai saat ini, bisa kita katakan bahwa meskipun laboratory-based evidences dari tanaman obat sudah banyak, namun belum mencapai ranah evidence-based antiviral drugs. Setidaknya, kita percaya bahwa tanaman obat memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu kandidat obat antivirus tertentu di masa depan.
Pustaka:
- Caputo AT, et al. Proc Natl Acad Sci U S A. 113(32):E4630-8 (2016).
- Rosmalena R, et al. Pathogens. 8:85 (2019).
- Stringer JL. Basic Concepts in Pharmacology: What You Need to Know for Each Drug Class, Fifth Edition. Chapter 33 (2017).
- Ueno M, et al. Int J Biol Macromol. 124:282-290 (2019).
- Vardanyan R & Hruby V. Synthesis of Best-Seller Drugs: 687–736 (2016).
- Wahyuni TS, et al. Fitoterapia. 99:276-283 (2014).