Penulis : apt.Adhyatmika, M.Biotech.
Seri Wawasan Nano-Farmasi (1)
Nanoteknologi di bidang Farmasi, apakah?
Tahun-tahun terakhir ini, kita banyak sekali mendengar adanya istilah revolusi industri 4.0, dimana di dalamnya banyak melibatkan istilah-istilah kekinian yang baru, seperti internet of things, aplikasi, big data, disruptive technology, dan lain sebagainya. Nah, di antara semua istilah itu, salah satunya adalah nanoteknologi. Apa ya nanoteknologi itu?
Nanoteknologi pada dasarnya adalah segala macam teknologi yang melibatkan partikel dengan ukuran diameter pada rentang nanometer. Nanometer tuh seberapa sih? Jadi kalau unit besarnya mistar (penggaris) itu biasanya ada di level centimeter (cm). Nah, unit terkecil mistar itu 1 milimeter (1 mm), atau sepersepuluhnya dari 1 cm. 1 mm ini kira-kira ukuran pasir, atau butiran garam dapur. Kalau 1 mm itu masih dibagi lagi seribu kali, itu namanya 1 mikrometer (μm). Sel-sel di tubuh kita ini, ukurannya sekitar 10-100 μm. Serbuk sari tanaman, ukurannya sekitar 100 μm. Nah, kalau 1 μm ini masih dibagi seribu lagi, baru kita sampai ke ukuran 1 nanometer (nm). Ukuran ini jelas nggak bisa kita amati dengan mata telanjang. Virus, seperti yang saat ini sedang menyebabkan pandemi? Ukurannya sekitar 100 nm.
Jadi yang bisa diterima sebagai nanoteknologi, adalah yang berukuran 1-999 nm? Nah kalau ini, tergantung pada bidang apa kita sedang berbicara. Kalau kita berbicara ilmu material pada penggunaan sebagai coating (pelapis) cat, misalnya, maka ukurannya harus super-kecil, tidak lebih besar dari 50 nm. Kenapa begitu? Karena partikel material untuk coating ini berfungsi sebagai pelapis yang menghalangi masuknya butir uap air ke dalam cat. Istimewanya kondisi ini adalah, jadi tidak ada uap air yang bisa menembus cat, jadinya tidak akan lembab, jamuran, apalagi tembus air. Kalau teknologi nano-nya dimanfaatkan untuk baterai atau material pixel pada layar, misalnya, ini juga harus super kecil. Sehingga batas nanometer-nya tidak bisa lebih dari puluhan nanometer.
Untuk di farmasi bagaimana? Untuk penggunaannya di farmasi, nanoteknologi secara umum dapat dikategorikan menjadi dua jenis penggunaan, yaitu, untuk penanda/diagnosis, dan untuk pengobatan. Untuk pananda atau diagnosis misalnya, dengan material berukuran nano, kita bisa sisipkan pewarna yang bisa berfluoresense, sehingga dokter bisa dengan menemukan, misalnya adanya penyumbatan, atau letak terjadinya tumor atau kanker. Kalau untuk pengobatan, partikel ini tugasnya lebih ke sebagai pembawa/kendaraan buat obat yang ingin kita berikan.
Obat perlu kendaraan? Tentu. Pernah dengar istilah efek samping? Kalau kita minum obat, taruhlah obat sakit kepala atau obat flu, ada efek samping misalnya kantuk. Efek ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk terjadi saat kita melakukan terapi dengan obat. Masalahnya, efek samping ini beraneka macam, tergantung pada obat dan dosis pemberiannya. Bisa dari seringan kantuk, hingga berat, misalnya alergi, sesak napas, gatal-gatal, hingga seperti yang kita dapati pada pasien yang menjalani kemoterapi, yaitu rusaknya sel-sel tubuh kita, yang terlihat misalnya dengan kerontokan rambut dan keriputnya kulit, juga rasa nyeri yang amat sangat.
Efek samping ini terjadi karena ketika kita berikan obat pada pasien, obat ini masuk ke dalam darah dan akan pergi kemana-mana tanpa bisa kita kontrol kepergiannya. Obat akan mengikuti kemana saja darah mengalir. Jadi meski yang sakit di kepala, obatnya nggak Cuma pergi ke kepala. Sakitnya di hati, obatnya juga mampir ke jantung. Sakit di ginjal, obatnya mampir ke paru-paru. Yang jahat sel kanker, tapi obatnya nggak Cuma bunuh sel kanker. Nggak sengaja bunuh-bunuhin yang sel baik juga. Gitu.
Makanya, obat ini idealnya punya kendaraan. Supaya ada yang nganterin. Kendaraan ini ada persyaratannya. Misalnya harus tahan pada serangan enzim, tidak mudah rusak. Lalu kemudian yang terpenting punya semacam GPS (global positioning system) macam Google Maps lah. Ini supaya dia tahu harus kemana. Kemudian, saat ketemu tempat tujuannya, kendaraan ini bisa parkir pas di tempatnya. Si obat turun dan kemudian hanya berefek di tempat yang kita inginkan. Selesai deh masalah. Ini idealnya ya, prakteknya nggak gampang bikin seperti ini.
Nah terus, apa hubungannya dengan nanoteknologi, dong? Tentu ada. masalahnya, pembuluh darah kita itu nggak semuanya lebar kayak jalan tol. Ada juga jalan-jalan biasa, hingga gang-gang sempit. Jadinya, kendaraan yang bawa obat nggak boleh sebesar truk atau bus. kalau bisa sekecil mungkin, supaya bisa nganterin obat sampai alamat tujuan tanpa harus menyebabkan penyumbatan. Di sinilah nanoteknologi berperan. Ingat kan perbandingan berbagai macam ukuran tadi? Kalau kita bisa membuat kendaraan kita seukuran nanometer, maka urusan antar-mengantar ini jadi tanpa masalah. Tapi, sekecil-kecilnya, kita harus ingat kalau fungsinya ini sebagai kendaraan. Partikel nano-nya membawa obat dengan jumlah yang cukup. Makanya ukuran nanopartikel di bidang farmasi biasanya nggak bisa sekecil nanopartikel untuk pelapis cat tadi, misalnya. Di rentang ratusan nanometer masih memungkinkan. Kira-kira seukuran virus. Tahu kan, kalau virus bisa leluasa masuk ke dalam tubuh kita? Maka obat berukuran ratusan nanometer juga masih bisa leluasa masuk ke dalam tubuh kita.
Kemudian, ada lagi masalah kelarutan. Larut itu seperti ketika kita memasukkan gula ke dalam air, maka gulanya akan melarut sempurna. Tapi kalau kita memasukkan pasir ke air, maka pasir itu tidak akan bisa melarut dengan baik. Nah, masalahnya, beberapa obat juga punya masalah kelarutan seperti ini. Tidak semua obat bisa larut baik dalam air. Beberapa obat hanya bisa dilarutkan di pelarut organik, misalnya alkohol, atau heksana, yang tentunya bersifat racun di dalam tubuh. Trus gimana dong? Ya nggak apa-apa. Biarkan dia tidak larut di dalam air, dalam bentuk dispersi partikel, tapi kita usahakan supaya partikelnya bisa sekecil mungkin, sampai berukuran nanometer. Ini supaya dia mendekati sifat larutan, meskipun dia pada prinsipnya tidak bisa terlarut sempurna. Dispersi pada ukuran nanometer ini disebut juga dispersi koloidal. Cuntohnya? Susu. Susu itu bisa berwarna putih karena berbentuk dispersi. Tapi, saking kecilnya, kita sampai tidak bisa menyaringnya, kan? Begitulah.
Ukuran partikel nanometer ini selain membantu kemudahannya dalam menyatu dengan pelarutnya, juga membantu kelarutannya di dalam tubuh. Karena semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaannya, semakin besar dia bisa kontak dengan pelarutnya. Bayangkan perbandingan antara gula pasir dan gula batu. Untuk jumlah yang sama, mana yang lebih cepat larut? Tentu gula pasir lebih cepat dan gula batu lebih lambat. Ini karena luas permukaan partikel kristal gula pasir lebih besar, karena ukurannya lebih kecil. Maka kelarutannya juga jadi lebih cepat, karena air bisa melakukan penetrasi dengan lebih masif.
Terakhir, partikel berukuran nanometer di bidang farmasi, kalau diaplikasikan ke produk obat, bisa meningkatkan penyerapannya ke dalam tubuh. Usus kita ini cukup selektif, nggak mudah untuk bisa menembusnya. Maka, kalau partikel kita berukuran lebih kecil, kesempatannya untuk diserap tubuh jadi lebih baik. Oleh karena itu, pemberiannya bisa jadi lebih efektif. Tidak banyak yang terbuang. Aksinya juga bisa lebih cepat dirasakan oleh penggunanya. Yang sakit kepala bisa lebih cepet hilang sakitnya. Yang darah tinggi bisa lebih cepat turun tekanan darahnya. Yang sakit hati? Tergantung penyebabnya, dong. Nggak semuanya bisa diselesaikan dengan nanoteknologi, Bro!