Kejang demam anak merupakan kejadian kejang yang terjadi pada saat peningkatan suhu tubuh anak lebih dari normal. Anak yang mengalami kejang demam mengalami kenaikan suhu diatas 38°C. Kejang demam biasanya terjadi pada anak 6 bulan hingga 5 tahun. Anak yang dengan riwayat kejang demam dapat mengalami kejang demam kembali, lebih dari 15% kejang demam merupakan kejang demam berulang. Sehingga perlu pemberian obat untuk mencegah kejadian kejang berulang.
Kata kunci : kejang, demam, antipiretik, antikejang
Kejang demam ialah kejang yang terjadi pada saat peningkatan suhu tubuh di atas 38°C. Kejang demam terbagi menjadi kejang demam sederhana (KDS) dan kejang demam kompleks (KDK). Umumnya KDS berlangsung singkat, kurang dari 15 me¬nit, dan akan berhenti sendiri. Sedangkan KDK biasanya berlangsung > 15 menit dan berulang lebih dari sekali dalam 24 jam. Kurang dari 5% kejadian kejang demam terjadi pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Dari total kejadian kejang demam, lebih dari 15% merupakan kejang berulang (Capovilla dkk., 2009).
Kejang umumnya disebabkan infeksi, namun selain infeksi pada otak atau sistem syaraf pusat. Infeksi yang sering dijumpai pada anak dengan kejang demam yaitu infeksi saluran kemih (ISK), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), infeksi telinga (otitis media), maupun infeksi virus (Dougherty dkk., 2008).
Tanda anak mengalami kejang demam
Ketika mengalami kejang demam, tubuh anak akan berguncang hebat diiringi gerakan menyentak di lengan dan tungkai yang berulang (kelojotan), mata mendelik ke atas, serta kehilangan kesadaran. Kejang demam berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Anak yang mengalami kejang demam akan langsung sadar setelah kejang reda, tampak bingung atau lelah. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam ini disebut kejang demam sederhana dan merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Jika kejang terjadi lebih dari 15 menit, atau terjadi lebih dari sekali selama kurun 24 jam, kejang demam tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks (Dougherty dkk., 2008).
1. Penanganan anak saat kejang demam
2. Lakukan beberapa langkah berikut saat anak mengalami kejang demam (Capovilla dkk., 2009):
1) Letakkan anak ditempat yang aman serta jauhkan dari benda-benda berbahaya seperti listrik dan pecah belah
2) Tetap tenang dan jangan panik
3) Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher bila tidak sadar.
4) Baringkan anak dalam posisi miring agar makanan, minuman, muntahan, atau benda lain yang ada dalam mulut akan keluar sehingga anak terhindar dari bahaya tersedak
5) Jangan .memasukkan benda apapun ke dalam mulut. Memasukkan sendok, kayu, jari orangtua, atau benda lainnya ke dalam mulut, atau memberi minum anak yang sedang kejang, berisiko menyebabkan sumbatan jalan napas apabila luka
6) Amati apa yang terjadi saat anak kejang, karena ini dapat menjadi informasi berharga bagi dokter. Tunggu sampai kejang berhenti, kemudian bawa anak ke unit gawat darurat terdekat.
7) Jika anak anda sebelumnya sudah pernah kejang demam, dokter mungkin membekali orangtua dengan obat kejang yang diberikan melalui dubur. Setelah melakukan langkah-langkah pertolongan pertama di atas, obat tersebut dapat diberikan sesuai instruksi dokter.
Mencegah kejang demam
Kejang demam menjadi kondisi yang perlu diwaspadai oleh orang tua terlebih pada anak yang sedang mengalami demam, karena dapat dikaitkan dengan kejadian epilepsi dan resiko pertumbuhan dan perkembangan anak seperti keterbelakangan mental. Terkait resiko tersebut banyak orang tua mempertanyakan “Bagaimana caranya mencegah kejang demam pada anak?”.
Perlu diketahui kejang demam dapat terjadi hanya saat anak sedang mengalami demam dengan suhu > 39°C. Apabila anak tidak demam, maka kejadian kejang demam bisa tidak terjadi. Maka perlu dilakukan pengendalian faktor resiko kejang demam seperti (Fuadi, 2010):
a) Faktor demam
Berdasarkan penelitian, anak dengan durasi demam 2 jam.
b) Faktor usia
Anak usia 2 tahun memiliki resiko kejang demam 3,4x lebih besar daripada usia > 2 tahun.
c) Faktor riwayat kejang keluarga
Keluarga keturunan pertama (orang tua dan saudara kandung) yang memiliki kejang demam sebelumnya, maka akan menurunkan resiko kejang demam pada anak.
Mengetahui faktor resiko pada anak sangat penting, sehingga ketika anak mengalami demam dengan suhu > 39°C maka orang tua anak dengan faktor resiko kejang demam dapat memberikan tindakan pencegahan. Pencegahan kejang demam dapat dilakukan dengan mengatasi demam anak hingga suhu kembali normal dengan pemberian penurun panas. Hindari pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) untuk menurunkan demam, karena aspirin memiliki efek samping terjadinya Sindrome Reye yaitu terjadinya penimbunan lemak pada otak, hati dan organ tubuh lainnya yang menimbulkan kerusakan organ. Penggunaan penurun panas yang aman pada anak dapat diberikan antipretik seperti paracetamol dan ibuprofen (Fuadi, 2010).
Berdasarkan IDAI (2014) beberapa tindakan pencegahan kejang demam seperti:
‐ Berikan kompres hangat pada bagian dahi, lipatan siku, dan ketiak anak.
‐ Jangan biarkan anak dehidrasi (kurang cairan), dengan memberikan air putih yang cukup.
‐ Sediakan termometer untuk dapat selalu mengukur dan memantau suhu tubuh anak secara berkala sehingga suhu > 39°C dapat dihindari.
Efek setelah kejang demam pada anak
Kejang demam tidak berpengaruh terhadap perkembangan atau kecerdasan anak. Biasanya kejang demam menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 5-6 tahun. Sebagian besar anak yang pernah mengalami kejang demam akan tumbuh dan berkembang secara normal tanpa adanya kelainan (IDAI, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis dkk (2015), tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat kejang demam dengan perkembangan kognitif pada anak usia 3-5 tahun. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh penelitian Dharma (2010), resiko relatif abnormalitas kecepatan reaksi memori total pada anak dengan riwayat kejang demam terhadap anak dengan demam tanpa kejang menunjukkan tidak terdapat perbedaan, reaksi memori pada anak yang mempunyai riwayat kejang dan pada anak yang tidak mempunyai riwayat kejang. Epilepsi terjadi pada kurang dari 5 persen anak kejang demam, dan biasanya pada anak-anak ini terdapat faktor risiko lain (IDAI, 2014).
Pengawasan orang tua
Orangtua perlu mewaspadai apabila kejang demam berlangsung lebih dari 5 menit, anak tidak sadarkan diri setelah kejang pertama, mengalami kelumpuhan, saat leher ditekuk terasa kaku , muntah, dan sesak napas. Apabila terjadi, maka segera bawa anak ke dokter atau IGD (IDAI, 2014).
Obat-obat pada Kejang Demam
Paracetamol
Parasetamol bekerja menekan pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik antara 10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90 mgr/kbBB/hari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar dan digunakan pada jangka panjang dapat menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar. Pemberiannya dapat secara per oral maupun rektal (Hay, 2009).
Parasetamol memiliki beberapa jenis bentuk sediaan yang berada di pasaran yakni (Deliana, Melda, 2012):
‐ Tablet 100 mg. 120 mg, 250 mg, 500 mg, dan 650 mg
‐ Sirup 120 mg/5 ml, 160 mg/5ml, dan 250 mg/5ml
‐ Drops 100 mg/ml (80mg/0,8ml)
‐ Suppositoria 125 mg atau 250 mg.
Efek samping penggunaan prasetamol jarang terjadi namun perlu dilakukan perhatian. Hal ini dikarenakan penggunaan ditujukan pada anak. Efek samping yang berpotensi dapat terjadi adalah reaksi hipersensitivitas, ram kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, atau neutropenia). Selain itu, penggunaan jangka panjang akan menimbulkan risiko hepatotoksisitas, sehingga belum dianjurkan. Walau kasus hepatotoksisitas jarang dilaporkan, tetap perlu diperhatikan. Parasetamol digunakan sebagai penurun panas disimpan di tempat yang aman dan tidak terjangkau oleh anak-anak (Hay, 2009).
Pemberian obat penurun panas harus diberikan berdasarkan berat badan anak dan menggunakan sendok obat khusus, yang bisa didapatkan dari apotek saat membeli obat tersebut (American Academy of Pediatrics, 2011). Parasetamol dapat menimbulkan interaksi jika digunakan dengan obat lainnya (Barbi dkk., 2017):
a) Peningkatan risiko terjadinya perdarahan jika digunakan dengan warfarin
b) Penurunan kadar paracetamol dalam darah jika digunakan dengan carbamazepin, colestiramin, phenobarbital, phenytoin, atau primidon
c) Peningkatan risiko terjadinya efek samping pada penggunaan bersamaan obat busulfan
d) Peningkatan penyerapan paracetamol jika digunakan dengan metoclopramid, domperidon, chloramphenicol, atau probenecid
e) Peningkatan risiko terjadinya kerusakan hati jika digunakan dengan isoniazid
Selain berinteraksi dengan obat lain, parasetamol juga berpotensi berinteraksi jika digunakan bersamaan dengan makanan dan minuman. Salah satu nya adalah teh. Kandungan zat tannin yang terdapat dalam teh dapat mengikat parasetamol sehingga susah larut dan diabsorpsi (diserap) tubuh (Temple dkk., 2013)
Diazepam
Pada kebanyakan kasus, kejang demam berlangsung singkat dan saat pasien datang ke rumahs sakit kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang, obat yang cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg (Capovilla dkk., 2009).
Obat yang dapat diberikan jika kejang terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Diazepam oral maupun rektal disimpan di tempat aman dan pada suhu dibawah 25 C, terhindar cahaya serta tidak terjangkau oleh anak-anak. (Pusponegoro dkk., 2016; Capovilla dkk., 2009)
Efek samping dari pemberian diazepam merupakan efek sekunder dari peningkatan aktivitas GABA pada sistem saraf pusat. Efek paradox dapat terjadi pada pemberian diazepam dengan manifestasi perilaku agresif, iritabel, hingga halusinasi. Penggunaan diazepam yang tidak dikontrol berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan ketergantungan. Interaksi diazepam dengan obat lain terjadi akibat manipulasi pada sitokrom P450 dengan menginhibisi maupun menginduksi metabolisme (Dougherty dkk., 2008)
Beberapa Interaksi obat yang berpotensi terjadi menurut Rosman (2013):
‐ Secara signifikan meningkatkan efek depresi sistem saraf pusat (SSP) (misalnya: amprenavir, ritonavir)
‐ Meningkatkan efek depresan SSP pada penggunaan bersamaan anestesi, analgesik narkotik, antidepresan, antipsikotik, ansiolitik, antiepilepsi, antihistamin, antihipertensi, relaksan otot (misalnya: tizanidine, baclofen).
‐ Dapat mengurangi clearance jika di berikan bersamaan dengan antibakteri (misalnya: isoniazid dan erythromycin), kontrasepsi oral, cimetidin, omeprazol.
‐ Dapat meningkatkan clearance jika di berikan bersamaan dengan antibakteri yang dikenal sebagai penginduksi enzim hati (misalnya: rifampisin)
‐ Dapat meningkatkan kadar serum jika di berikan bersamaan dengan disulfiram
‐ Dapat mengurangi clearance digoxin.
‐ Dapat mengurangi efek terapi jika di berikan bersamaan dengan teofilin
Fenobarbital
Phenobarbital adalah obat untuk mengontrol dan meredakan kejang, termasuk kejang demam. Phenobarbital atau fenobarbital bekerja dengan cara mengendalikan aktivitas listrik yang abnormal di sistem saraf dan otak selama terjadinya kejang (Fadila dkk., 2014).
Fenobarbital tesedia dalam bentuk tablet dosis 30 mg dan 100 mg. Dosis fenobarbital disesuaikan dengan indikasi atau kegunaan, seperti pada management emergensi kejang akut, status epileptikus dapat diberikan 3-5 mg/kg atau 125 mg/m2 per hari. Pada sedasi preoperasi diberikan 1-3 mg/kg pre-op (1-1,5 jam sebelum prosedur). Sedasi diberikan 6 mg/kg per hari atau 2mg/kg 3x/hari atau 180 mg/m2 per hari terbagi 3 dosis (Fadila dkk., 2014)
Dosis pemeliharaan antikonvulsan/antikejang (Lacy dkk., 2010):
‐ Bayi 5-8 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi.
‐ Anak 1-5 tahun : 6-8 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi
‐ 5-12 tahun: 4-6 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi >12 tahun: 1-3 mg/kg/hari dalam dosis terbagi atau 50-100 mg 2-3 x/hari
Fenobarbital disimpan pada suhu 20°- 25°C, terlindung dari cahaya dan kelembaban.
Efek samping yang mungkin terjadi akibat penggunaan fenobarbital adalah bradikardia, sinkop, hipotensi, kecemasan, agitasi, ataksia, eksitasi atau depresi SSP, kebingungan, pusing, mengantuk, letargi, halusinasi, efek mabuk, sakit kepala, hiperkinesia; sembelit, mual, muntah; agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik; oliguria; laringospasme, depresi pernapasan, hipoventilasi; Berpotensi Fatal: Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis (Fadila dkk., 2014).
Interaksi (makanan, obat/kondisi lain) (Lacy dkk., 2010):
– Asam valproat: dapat menurunkan metabolisme fenobarbital. Fenobarbital dapat menurunkan konsentrasi serum asam valproat.
– Parasetamol: Fenobarbital dapat meningkatkan metabolisme parasetamol. Hal ini dapat mengurangi efek parasetamol dan meningkatkan resiko kerusakan hati.
– Makanan : dapat menyebabkan penurunan vitamin D dan kalsium.
Fenobarbital dapat digunakan untuk pencegahan kejang demam dengan pemberian rutin setiap hari selama 1-2 tahun (Fadila dkk., 2014).
Carbamazepin
Carbamazepin adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengontrol kejang. Obat ini termasuk dalam kelas obat yang dikenal sebagai anticonvulsant atau obat antiepilepsi. Carbamazepin bekerja dengan mengurangi penyebaran aktivitas kejang pada otak dan mengembalikan keseimbangan normal aktivitas saraf (Rosman, 2013). Berikut informasi seputar obat carbamazepin.
a) Bentuk sediaan : tablet dalam dosis 100 mg dan 200 mg, sirup 100 mg/ 5 ml (Rosman., 2013).
b) Cara pakai dan dosis (Lacy dkk., 2010):
– Anak < 6 tahun : inisial dosis yang diberikan 10-20 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 kali dalam bentuk sediaan tablet atau 4 kali per hari dengan bentuk sediaan sirup.
– Anak 6-12 tahun : dosis inisial 200 mg/hari dalam 2 dosis terbagi atau 4 kali sehari dalam bentuk sediaan sirup. Dapat ditingkatkan 100 mg/hari dalam interval seminggu penggunaan dengan pemberian 2 kali sehari.
– Dosis pemeliharaan : 400-800 mg/hari, maksimum dosis : 1000mg/hari.
c) Penyimpanan : simpan di suhu ruang 25-30 derajat celcius, jangan dimasukan freezer dan hindarkan dari cahaya langsung (Lacy dkk., 2010).
d) Efek samping yg mungkin terjadi : ruam kulit, pusing, ngantuk atau merasa lelah,mual muntah, sakit kepala, mulut kering, menambah berat badan (Lacy dkk., 2010).
e) Interaksi (makanan, obat/kondisi lain) : Ada beberapa obat yang dapat mengganggu efek karbamazepin (Lacy dkk., 2010).
– Beri tahu dokter anda jika pasien menggunakan salah satu dari obat-obatan seperti obat untuk jantung seperti warfarin, apixaban, rivaroxaban atau diltiazem, antibiotik atau antijamur seperti klaritromisin, eritromisin atau flukonazol (Zaccara & Perucc, 2014).
– Obat-obatan yang digunakan untuk depresi atau kecemasan seperti amitriptyline, citalopram atau mirtazapine, ciclosporin, tacrolimus atau sirolimus adalah obat imunosupresan yang digunakan setelah operasi transplantasi, tetapi juga terkadang untuk mengobati radang sendi atau psoriasis (Zaccara & Perucc, 2014).
– Obat-obatan HIV atau AIDS seperti dasubavir atau ritonavir (Zaccara & Perucc, 2014).
– Obat inhibitor monoamine oksidase (MAOIs) yang digunakan untuk mengobati depresi, obat ini dapat mempengaruhi carbamazepin bahkan jika telah dihentikan selama beberapa minggu (Zaccara & Perucc, 2014).
– Carbamazepin dapat membuat obat penghilang rasa sakit yang kuat seperti tramadol, oksikodon dan buprenorfin menjadi kurang efektif (Zaccara & Perucc, 2014).
– Parasetamol dan ibuprofen aman dikonsumsi dengan carbamezapine untuk waktu yang singkat. Sampaikan kepada dokter jika anda perlu meminumnya selama lebih dari beberapa hari (Zaccara & Perucc, 2014).
Carbamazepine dapat digunakan saat kejang di rumah sakit atau berdasarkan resep dokter.
Fenitoin
Jika anak sudah pernah mengalami kejang demam, maka diperlukan pengobatan untuk mencegah kejadian kejang demam berulang. Antikonvulsan atau antikejang dapat diberikan sebagai profilaksis atau pencegahan kejadian kejang berulang pada kejang demam berat, namun tidak dapaat mencegah timbulnya epilepsi (Dougherty dkk., 2008).
Antikonvulsan dapat diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir, dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Salah satu antikonvulsan yang dapat diberikan adalah fenitoin, namun pemberian fenitoin pada anak yang sedang demam tidak dapat mencegah terjadinya kejang. Fenitoin diberikan di rumah sakit apabila anak sudah mendapat diazepam namun kejang belum berhenti sehingga fenitoin tidak dapat digunakan terus menerus sebagai pengobatan profilaksis rawat jalan (Capovilla dkk., 2009).
Fenitoin tersedia dalam bentuk tablet kunyah 50mg, kapsul 100mg, suspensi fenitoin 125mg/5mL. Pada kejang demam fenitoin dapat diberikan dengan dosis 15-20mg/kg, sedangkan untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan 300mg/hari atau 5-6mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenitoin oral dapat dikonsumsi setelah makan, suspensi fenitoin dikocok dulu sebelum digunakan (Dougherty dkk., 2008).
Penggunaan fenitoin dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya efek samping dan interaksi pada makanan atau obat lain. Efek samping yang dapat terjadi seperti hipotensi, gangguan hati, nyeri dada, gusi, dan tenggorokan, sakit kepala, mual muntah. Sedangkan interaksi fenitoin dengan makanan dapat menyebabkan terganggunya penyerapan pada pasien yang menerima makanan melalui nasogastrik sehingga perlu menunda pemberian makanan selama 1-2 jam sebelum atau sesudah pemberian suspensi fenitoin. Pada penggunaan bersama dengan obat lain seperti paracetamol dapat meningkatkan resiko gangguan hati, hindari penggunaan bersamaan dan penggunaan jangka panjang (Capovilla dkk., 2009).
Fenitoin digunakan sebagai profilaksis kejang berulang saat dirumah sakit saja, bukan pencegahan kejang berulang. Penyimpanan fenitoin dapat ditempatkan pada suhu ruang 25-30 derajat celcius, jangan dimasukan freezer dan hindarkan dari cahaya langsung (Zaccara & Perucc, 2014).
Asam Valproat
Asam valproat dapat digunakan untuk mengatasi kejang pada kejang demam. Asam valproat memengaruhi kerja zat kimia pengantar signal listrik di otak (neurotransmitter), yaitu dengan cara meningkatkan konsentrasi gamma-aminobutyric acid (GABA), sehingga aktivitas kelistrikan di otak bisa terkendali dan kejang bisa mereda (Zaccara & Perucc, 2014).
Berikut informasi seputar asam valproat:
‐ Bentuk sediaan: tablet salut enterik 250 mg, tablet lepas lambat 250 mg dan 500 mg, sirup 250 mg/5 mL (Kemenkes RI., 2017).
‐ Dosis asam valproate : 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis (Ismael dkk., 2016).
‐ Cara penggunaan: Tablet/kapsul asam valproat dikonsumsi secara utuh dengan makanan ataupun tanpa makanan. Pasien dianjurkan untuk mengonsumsi segera asam valproat bila ada keterlambatan. Tidak dianjurkan mengonsumsi dua dosis dalam waktu berdekatan (Ismael dkk., 2016).
‐ Penyimpanan: Asam valproat dapat disimpan pada suhu ruangan, sekitar 15-30 derajat Celsius (Ismael dkk., 2016)
Efek Samping yang mungkin terjadi yaitu pada sebagian kasus, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati terutama pada anak usia <2 tahun (Ismael dkk., 2016).
‐ Interaksi (Makanan, obat/kondisi lain)
Interaksi asam valproat dengan obat-obatan lainnya dapat menimbulkan beberapa hal. Interaksi asam valproat dengan obat anti kejang seperti carbamazepine, fenitoin, fenobarbital dapat menurunkan kadar plasma valproat. Interaksi antara valproat dengan kontrasepsi oral dapat menurunkan konsentrasi asam valproat (Zaccara & Perucc, 2014).
Lama pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, dan dihentikan secara bertahap 1-2 bulan. Penghentian pengobatan rumatan dilakukan pada saat anak tidak demam (Ismael dkk., 2016).
Daftar Pustaka
American Academy of Pediatrics. Clinical report – fever and antipyretic use in children. Pediatrics 2011;127:580-7.
Capovilla, G., Mastrangelo, M., Romeo, A., Vigevano, F. Recommendations for the management of ‘‘febrile seizures’’ adhoc task force of LICE guidelines commission. Epilepsia 2009; 50(1): 2-6
Deliana, M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. IDAI Sari Pediatri. 2012; 14(1):57-61
Dougherty, D., Duffner, PK., Baumann, RJ., Berman, P., Green, JL., Schneider S. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics. 2008;121(6):1281
Fadila, S., Nadjmir, N., dan Rahmatini, R., 2014. Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan Tidak Rutin Pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Jurnal Kesehatan Andalas, 3: .
Fuadi, Bahtera, T., Wijayahadi N., 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri, Vol 12 (3), 142-148
Hay, W. Current Diagnosis andTreatment of Pediatrics. 19th edition. United States of
America: McGrawHill. 2009; 697-698.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. IDAI: Unit Kerja Koordinasi Neurologi.
Ismael, S., Pusponegoro, HD., Widodo, PD., Mangunatmadja, I., Handryanstuti, S. IDAI. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Unit Kerja Koord Neurol Ikat Dr Anak Indones. 2016
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional. 2017. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07-MENKES-659- 2017_ttg_Formularium_Nasional_.pdf.
Lacy, C.,F.,dkk, 2010, Drug Information Handbook, 18th editionlexi-comp, USA.
Lubis, E., Maryuni, dan Saragih H. 2015. Pengaruh Riwayat Kejang Demam terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia 3 – 5 Tahun di Desa Rumpin Kabupaten Bogor. STIKES Binawan Jakarta Indonesia.
Pusponegoro, HD., Widodo, DP., Ismael, S.. Konsensus penatalaksanaan kejang demam Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016 [Internet]. 2016 [cited 2021 September 28]. Available from: http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-2012.pdf
Rosman, NP., A controlled trial of diazepam administered during febrile illnesses to prevent recurrence offebrile seizures. N Engl J Med 2013; 329:79-84
Zaccara, G., Perucc, E. Interactions between antiepileptic drugs, and between antiepileptic drugs and other drugs. Epileptic Disord. 2014(16) 409-432. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25515681