Oleh: Lukman Mahdi
22/495246/SFA/00261
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Farmasi UGM
Perkembangan penemuan obat menunjukkan peningkatan tren dari tahun ke tahun. Munculnya berbagai permasalahan penyakit seperti pandemi covid-19, monkeypox, dan lain-lain membuat para peneliti berlomba-lomba untuk menemukan obat baru. Berbagai sumber daya ditelusuri dan digali potensi kemanfaatannya. Obat-obat hasil modifikasi sintetik dan obat berasal dari bahan alam menjadi sasaran utama peneliti untuk mengembangkan obat baru. Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keanekaragaman sumber daya alamnya. Tak jarang, bahkan tampak sebagai suatu keharusan untuk para peneliti menggali sebesar-besarnya potensi farmakologi dari setiap jenis tanaman yang tumbuh di wilayah Indonesia. Apalagi dengan sosial-budaya dan letak geografis tiap daerah yang berbeda akan menambah keragaman penggunaan tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan obat untuk mengatasi beragam permasalahan penyakit. Sehingga semakin menarik untuk terus diteliti dan dikembangkan potensinya.
Ada banyak tanaman yang sejak zaman dahulu telah dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya adalah tanaman seledri. Seledri (Apium graveolens) adalah tanaman yang dimanfaatkan secara luas oleh manusia. Diberbagai negara seledri sudah cukup dikenal memiliki banyak manfaat, mulai dari bumbu dapur hingga fungsinya sebagai obat. Penyebaran tanaman seledri sangat luas, hampir diseluruh negara tanaman ini dapat tumbuh dengan baik. Seledri dapat tumbuh didataran tinggi yang beriklim dingin hingga sejuk. Tanaman ini sangat mudah dibudidayakan dengan masa panen sekitar 2-3 bulan saja. Bagi sebagian orang yang berkecimpung dalam bisnis kuliner dan pertanian, seledri merupakan komoditas yang sudah tidak asing lagi. Seledri menjadi kebutuhan wajib didunia kuliner. Sebagai bumbu dapur seledri dimanfaatkan dalam olahan masakan khas Indonesia seperti bakso, soto, dan sop. Tak ayal seledri kemudian memiliki pamor dalam dunia kuliner.
Masyarakat Indonesia telah mengenal dengan baik bahwa tanaman seledri bisa digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Laporan RISTOJA 2015 menyebutkan seledri (Apium graveolens) digunakan sebagai penurun tekanan darah tinggi pada 22 jenis ramuan yang berbeda di Indonesia. Ini menjelaskan bahwa seledri sebagai obat tradisional dalam mengatasi tekanan darah tinggi tetaplah eksis hingga di era modern ini. Cara penggunaan seledri untuk mengatasi tekanan darah tinggi cukuplah mudah yakni dengan merebus beberapa helai daun seledri dan selanjutnya air rebusannya diminum. Namun sayangnya, penggunaan seledri dengan cara tradisional ini memiliki beberapa kelemahan baik dari segi mutu, kualitas, stabilitas sediaan maupun khasiatnya yang tidak terjamin pada setiap pembuatannya.
Saat ini pengembangan seledri (Apium graveolens) sebagai penurunan tekanan darah tinggi telah berkembang pesat. Seledri tidak lagi direbus menggunakan air untuk mendapatkan manfaatnya tetapi dengan teknologi ekstraksi yang canggih dan melalui pengujian khasiatnya secara in vitro, prekilinik, sampai uji klinik, seledri mampu menjadi obat tradisional yang telah terjamin khasiat dan keamanannya. Sebagai salah satu tanaman yang memiliki bukti kebenaran saintifik yang kuat sebagai obat antihipertensi. Seledri, yang dikombinasikan dengan kumis kucing, telah tercatat kedalam formularium fitofarmaka 2022. Formularium fitofarmaka merupakan kumpulan daftar obat yang berasal dari bahan alam, terbukti secara saintifik berkhasiat mulai dari tahap pengujian secara in vitro hingga pengujian klinik.
Seledri mengandung beragam senyawa metabolit sekunder yakni polifenol, flavonoid, asam fenolat, poliasetilen, phtalide, kumarin, lignan, asam-asam organik, asam lemak, terpenoid, dan minyak atsiri. Sebagian besar komponen senyawa penyusun seledri adalah termasuk kedalam golongan flavonoid. Apigenin, luteolin, kaempferol, kuersetin, dan kriseriol adalah senyawa flavonoid yang dapat ditemukan dalam seledri. Secara umum, senyawa-senyawa tersebut berada didalam tanaman seledri dalam bentuk ikatannya dengan glukosa yang membentuk suatu senyawa flavonoid glikosida. Senyawa apiin dan/atau apigenin merupakan senyawa marker tanaman seledri.
Saat ini pengembangan obat herbal tidak hanya mengacu pada penggunaannya secara empiris. Namun sudah melihat senyawa yang terkandung didalam tanaman. Berlandaskan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan alam. Peneliti mencoba untuk mengamati dan menilai berbagai aktivitas farmakologi yang relevan pada sifat senyawa metabolit sekundernya dan itu yang terjadi pada seledri saat ini. Beberapa peneliti mencoba mengulik aktivitas seledri sebagai antiinflamasi, antibakteri, antiulserogenik, antihiperurisemia, penyembuhan luka bahkan sampai disfungsi seksual wanita. Penelitian-penelitian untuk mengetahui efek farmakologi seledri tidak hanya mengkaji satu bagian tanaman saja, tetapi seluruh bagian tanaman termasuk daun, herba, dan biji seledri.
Pada artikel kali ini akan dibahas beberapa efek farmakologi dari seledri (Apium graveolens) yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut diantaranya yakni antiinfalamsi dan antibakteri.
- Antiinflamasi
Antiinflamasi merupakan efek farmakologi yang ditunjukkan untuk mengatasi nyeri dan bengkak dengan menghambat mediator inflamasi (molekul-molekul yang menyebabkan nyeri dan bengkak) seperti TNF-α, IL-1β, dan nitric oxide (NO). Mediator-mediator inflamasi ini berkontribusi menyebabkan rasa nyeri dan bengkak yang terjadi. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa seledri baik bagian akar maupun daunnya mampu mengurangi inflamasi yang terjadi. Ekstrak metanol maupun etanol yang digunakan dapat menurunkan ekspresi TNF-α, IL-1β, dan produksi NO. Pengujian secara in vitro menggunakan kultur sel makrofag dan secara in vivo menggunakan hewan uji menunjukkan hasil efek antiinflamasi yang potensial. Efek antiinflamasi yang timbul akibat pengaruh pemberian seledri yang ditengarai karena adanya kandungan senyawa apiin, apigenin dan bergapten.
- Antibakteri
Beberapa penelitian seledri sebagai antibakteri telah dilakukan. Aktivitas antibakteri seledri yang telah diujikan tidak dilakukan pada semua jenis bakteri karena didunia jumlah dan jenis bakteri cukup banyak dan beragam. Sehingga pengujian seledri sebagai antibakteri hanya ditujukan untuk bakteri-bakteri pathogen yang bisa mengganggu fisiologis manusia dan menimbulkan perburukan pada penyakit tertentu seperti Staphylococcus aureus. Bakteri ini merupakan jenis bakteri yang saat ini menjadi konsen peneliti. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bisa mengalami evolusi menjadi methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau dikenal dengan MRSA. MRSA merupakan jenis bakteri yang tidak bisa ditangani dengan beberapa jenis obat golongan antibiotik atau dikenal dengan resisten antibiotik.
Penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa seledri bisa menjadi obat antibakteri yang potensial untuk menangani infeksi yang disebabkan Staphylococcus aureus bahkan lebih jauh lagi bisa menghambat MRSA. Ekstrak polar hingga semipolar menggunakan pelarut air, metanol, dan etanol berpotensi menunjukkan efek penghambatan pertumbuhan Staphylococcus aureus dan MRSA. Zona penghambatannya bisa mencapai 11-12 mm pada pengujian in vitro menggunakan media agar yang ditumbuhi koloni bakteri Staphylococcus aureus dan MRSA. Konsentrasi ekstrak seledri yang digunakan cukup kecil yakni 1-4 mg/ml. Ini menunjukkan bahwa seledri sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obat antibiotik yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kasus-kasus infeksi yang melibatkan bakteri Staphylococcus aureus dan MRSA.
Potensi-potensi efek farmakologi seledri (Apium graveolens) yang telah dijelaskan diatas hanyalah sebagian kecil dari efek farmakologis yang sedang digali para peneliti saat ini. Masih banyak hal yang terus diteliti dari seledri sehingga kedepannya dapat dikembangkan menjadi obat yang berkhasiat dan aman. Eksplorasi senyawa aktif, dosis terapetik, aspek keamanan, dan potensi-potensi efek sinergistik antar senyawa perlu terus digali dan dibuktikan kebenarannya. Selain itu ketersediaan tanaman seledri di Indonesia yang besar akan sangat menguntungkan para peneliti dan lebih jauh lagi produsen obat karena kesediaan bahan baku obat ada didalam negeri sehingga tidak perlu melakukan ekspor tanaman seledri dari negara lain. Oleh sebab itu seledri bisa menjadi raw model yang sangat baik untuk mengembangkan obat yang berasal dari bahan alam.
Daftar Pustaka
- Din, Z.U., Shad, A.A., Bakht, J., dkk., 2015, In vitro antimicrobial, antioxidant activity and phytochemical screening of Apium graveolens, J. Pharm. Sci., Vol. 28(5): 1699-1704
- Emad A.M., Ali, S.F., Rahman, E.A.A., dkk., 2020, Anti-inflammatory and antioxidant effects of Apium graveolens extracts mitigate against fatal acetaminophen-induced acute liver toxicity, Journal of Food Biochemistry, https://doi.org/10.1111/jfbc.13399
- Emad, A.M., Rasheed, D.M., Kased., R.F.E., dkk., 2022, Antioxidant, Antimicrobial Activities and Characterization of Polyphenol-Enriched Extract of Egyptian Celery (Apium graveolens, Apiaceae) Aerial Parts via UPLC/ESI/TOF-MS, Molecules, Vol. 27: 1-19, https://doi.org/10.3390/molecules27030698
- Formularium fitofarmaka, 2022, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
- Laporan riset tumbuhan obat dan jamu (RISTOJA) 2015, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
- Lau, H., Ni, N., Dayal, H., dkk., 2021, Evaluation of Anti-Inflammatory Effects of Celery Leaf and Stem Extracts in LPS-Induced RAW264.7 Cells Using Nitric Oxide Assay and LC-MS Based Metabolomics, Issues Mol. Biol., Vol. 43: 1876–1888, https://doi.org/10.3390/cimb43030131
- Prakoso, Y.A., dan Wijayanti A.D., 2022, Efficacy of Celery (Apium graveolens) Alcoholic Extract Against Systemic Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus Infection in Rat Models, Veterinary World, Vol. 15(4): 898-905, www.doi.org/10.14202/vetworld.2022.898-905
- Widiyastuti, Y., Widowati, L., Bahar, Y., Siswanto, U., 2021, Seledri (Apium graveolens): Tanaman Aromatis Melawan Hipertensi, Jakarta: LIPI Press